SOLUSI BANJIR DENGAN MEMBANGUN DEEP TUNNEL RESERVOIR
SYSTEM (DTRS)
Wilayah DKI Jakarta dan kota-kota disekitarnya
sering dihadapkan pada kondisi kritis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
air. Banjir pada musim hujan, mengalami krisis air baku sepanjang waktu, masih
rendahnya cakupan layanan ait minum, eksploitasi air tanah yang berlebihan,
sangat rendahnya tingkat pelayanan penanganan limbah domestik yang semakin
mencemari air tanah dan tercemarnya aliran air 13 sungai yang melewati kota
Jakarta adalah merupakan akumulasi permasalahan yang memerlukan penanganan
segera.
Penanganan masalah krusial tersebut selama ini
dilakukan secara parsial dan kurang adanya koordinasi yang baik. Untuk
menangani masalah tersebut membutuhkan permbangunan sistem infrastruktur yang
untuk mewujudkan dibutuhkan biaya besar. Diantaranya adalah dalam pembebasan
tanah sebagaimana saat ini dihadapkan oleh Pemda DKI.
Deep Tunnel
Reservoir System (DTRS)
merupakan suatu emerging technology
yang sudah dikembangkan di beberapa kota besar di luar negeri dalam upaya
pengendalian banjir dan pengelolaan limbah cair. Fungsi DTR adalah menyimpan
kelebihan air hujan (pengendalian banjir) dalam suatu reservoir bawah tanah pada musim hujan bersamaan dengan limbah
rumah tangga. Air yang ditampung dalam DTR kemudian dipompakan ke permukaan
untuk diolah (reklamasi) sebelum kemudian digunakan sebagai air baku bagi PAM
dan sisanya dibuang ke sungai-sungai yang ada dalam upaya perbaikan kualitas
air sungai di DKI Jakarta.
DTRS mengaplikasikan green technology atau teknologi ramah lingkungan sehingga tidak
mencemari lingkungan karena sistem ini merupakan sistem salurah reservoir bawah. Sistem ini merupakan integrated system dari KBT dan KBB.
DTRS dinilai paling efektif dibandingkan dengan
pembangunan sistem pengendalian banjir seperti waduk, kanal, sungai purba, dan
sumur resapan. Sebab DTRS dapat menanggulangi banjir, mengatasi kelangkaan air
baku PAM, penanganan limbah cair, konservasi air tanah, dan perbaikan kualitas
sungai.
Untuk membangung Waduk Ciawai dibutuhkan dana Rp.
4,3 triliun, dan untuk membangunnya pun tidak mudah dilakukan karena terganjal
pembebasan lahan. Sementara dengan membangun waduk, dari lima manfaat deep tunnel, waduk hanya mampu untuk
penanganan banjir dan mengatasi kelangkaan air baku PAM.
Komparasi biaya pembangunan DTRS dan sistem
penanganan konvensional adalah sebagai berikut:
·
Pembangunan
sistem pengendalian banjir dibutuhkan dan Rp. 5 triliun
·
Pembangunan
sistem pengelolaan limbah cair Rp. 11 triliun
·
Pembangunan
alternatif sistem penyediaan air baku Rp. 2,4 triliun
·
Biaya perbaikan
kualitas lima sungai Rp. 5 triliun
Sehingga total biaya
pembangunan dan kerugian adalah Rp. 41,4 triliun.
Untuk membangun DTRS dari tahap awal sampai akhir
selama 15 tahun, biaya yang dibutuhkan hanya Rp.21 triliun. Jumlah ini memang
terlalu besar, namun sebanding dengan nilai lebih yang ditawarkan dan segi
manfaat yang lebih besar. Karenanya bila dihitung dengan analisis makro untuk
DTRS yaitu, perkiraan total biaya berdasarkan potensi genangan air pada 34
lokadi krusial yang bisa menampung 65 juta m3. DTRS juga bisa
mengolah limbah cair sebesar 360 juta m3 per tahun. Tak hanya itu,
ada tambahan kebutuhan air baku PAM sebesar 24 juta m3 per bulan.
Pembangunan terowongan air ini sudah dilakukan
beberapa kota besar di dunia, seperti Hongkong, Kuala Lumpur, Singapura, dan
Chicago. Pembangunan terowongan air di luar begeri merupakan proyek patungan
pemerintah pusat dan daerah. Persentasenya bahkan lebih besar pemerintah pusat
yang mencapai 75 persen, sedangkan sisanya ditanggung pemerintah daerah.
Jika di Singapura deep tunnel dibangun spangjang 70 kilometer selama tiga tahun, maka
di Jakarta yang hanya 17 kilometer dimungkinkan dibangun satu sampai dua tahun.
Pembangunan terowongan air dipastikan tidak akan mengalami masalah rumit
seperti pembangunan KTB yang terganjal masalah pembebasan lahan. Pasalnya
terowongan air ini dibangun 100 meter dibawah tanah.