statistik

Senin, 20 Mei 2013

TATANAN TEKTONIK INDONESIA


DINAMIKA DAN TATANAN TEKTONIK DI INDONESIA

Sejarah perkembangan tektonik Indonesia yang merupakan bagian dari lempeng mikro Sunda diawali dengan pemisahan benua raksasa Gondwana yang berada di belahan bumi selatan yang dilanjutkan dengan pergeseran-pergeseran pada akhir Jura 126 juta tahun lalu. Selanjutnya pada akhir Kapur, 65 juta tahun lalu mulai terlihat bentuk lempeng mikro Sunda yang merupakangabungan dari Sumatera, Semenanjung Malaka, sebagian besar Kalimantan, dan sebagia Jawa, lempeng mikro Sunda ini sejak awal merupakan bagian dari benua Asia.

Pada 50 juta tahun kaku atau awal Eosen, setelah benua kecil India bergabung dengan kontinen Eurasia, ujung tenggara Asia tersesarkan lebih jauh ke arah tengga dan membentuk kawasan Indonesia bagian barat. Pada saat itu wilayah yang terbentuk berupa gabungan dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan bagian selatan Sulawesi. Pulau-pulau di kawasan Indonesia bagian timur masih berupa laut seperti Laut Filipina dan Samudera Pasifik, sedangkan Papua yang merupakan bagian Lempeng Australia masih jauh berada di selatan. Pada saat ini pula, lajur penujaman di sebelah barat Sumatera nenyambung ke selatan Jawa dan melingkari tenggara – timur Kalimantan – Sulaweai Barat yang aktif sejak akhir Mesozoikum mulai melemah dan berhenti pada kala Eosen.
Pada 40 juta tahun yang lalu, Sulawesi, Halmahera, dan pulau-pulau lainnya di Indonesia bagian timur belum terlihat bentuknya, juga bagian utara Kalimantan masih belum muncul.
Pada 30 juta tahun yang lalu, lengan utara Sulawesi mulai terbentuk bersamaan dengan jalur Ofiolit Jamboles. Sedangkan jalur Ofiolit sulawesi Timur masih berada di belahan bumi selatan.
Pada 20 juta tahun yang lalu kontinen-kontinen mikro bertumbukan dengan jalur ofiolit Sulawesi Timur, dan laut Maluku membentuk sebagai bagian dari Laut Filipina. Laut cina selatan mulai membuka dan jalur tunjaman di utara Serawak – Sabah mulai aktif. Selanjutnya Australia dan Papua bergerak mendorong ke arah utara sehingga Kalimantan dan pulau-pulau di Indonesia Timur berotasi berlawanan arah dengan gerak jarum jam.
Pada 10 juta tahun yang lalu, nemua mikro Tukang Besi – Buton bertumbukan dengan jalur ofiolit di Sulawesi  Tenggara, tunjaman ganda terjadi di kawasan Laut Maluku, dan laut Serawak terbentuk di Utara Kalimantan. Sulawesi mulai terbentuk yamg merupakan gabungan dari setidaknya tiga unsur dari lokasi berbeda. Kemudian diikuti dengan terbentuknya pulau-pulau di daerah Laut Banda dan Laut Halmahera. Kalimantan menjadi utuh dengan menyatunya bagian utara yang berasal dari unsur diutaranya. Demikian juga Papua posisinya sudah lebih mendekat ke Indonesia.
Pada 5 juta tahun yang lalu, benua mikro Banggai-Sula bertumbukan dengan jalur ofiolit Sulawesi Timur,  dan mulai aktif tunjaman miring di utara Papua Nugini. Sulawesi yang merupakan pulau terbesar termuda di Indonesia, terbentuk menjadi sempurnya seperti sekarang sejak 5 juta tahun yang lalu.
Perkembangan geodinamika Indonesia
Indonesia dikenal sebagai wikayah yang mempunyau tatanan geologi yang unik dan rumit. Keunikan dan kerumitan kondisi geologi ini sudah banyak diuraikan oleh para peneliti terdahulu dengan berbagai pendekatan konsep tektonik klasik. Konsep tektonik klasik adalah konsep yang berpandangan bahwa terbentuknya geosiklin sampai pegunungan terjadi pada tempat yang tetap.
Namun pada dasarnya konfigurasi tektonik Indonesia saat ini merupakan representasi dari hasil pertemuan konvergen tiga lempeng sejak zaman Neogen. Pola dan perkembangan tektonik Indonesia terjadi lebih mudah dipahami dengan menerapkan pola pemikiran tektonik yang baru, yaitu berdasarkan pola pemikiran konsep tektonik mobilist, antara lain konsep pengapungan benua, konsep tektonik lempeng atau konsep tektonik global.
Sartono (1990) menggabungkan teori klasik dan mobilist dengan mengemukakan bahwa tatanan tektoonik Indonesia selama Neogen dipengaruhi oleh tatanangeosiklin Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses tumbukan kerak kontinen dan oseanik. Kerak kontinen yang bekerja pada waktu itu terdiri dari kerak kontinen Australia, kerak kontinen Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak oseanik pasifik, dan kerak oseanik Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur geosiklin Sunda, Banda, Kalimantan bagian utara, dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini.
Berankag dari teoru tektonik lempeng, kepualauan Indonesia dianggap sebagai jalur produk tumbukan tiga lempeng litosfer yaitu (1) Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara, (2) lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, dan (3) Lempeng Eurasia yang bergerak relatif ke selatan. Berdasarkan pengukuran Very-long Baseline Inferometry, VLBI (Pratt, 2001) diketahui bahwa saat ini lempeng oseanik Indo-Australia bergeer ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata 5,5 – 7 cm pertahun; lempeng oseanik Pasifik bergeser ke barat laut dengan kecepatan rata-rata lebih dari 7 cm pertahun; dan lempeng kontinen Eurasia yang bergeser ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 2,6 – 4,1 cm pertahun.
Busur sunda adalah produk geodinamika regional. Sistem penunjaman sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan hudungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman sunda berawal dari sebelah barat Sumba, yang menerus ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung, pungung muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman, dan Burma. Kemiringan ini terjadi karena adanya oerbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o . sistem penunjaman Sunda ini merupaka tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozikum Tengah-Akhir (Katili, 1989). Menurut Hamilton (1979) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer Samudera India, tetapi meupakan salahsatu jejak sistem pnunjaman busur Sunda.
Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada ada kedalaman 100-300 km. Jalur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen diSumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi ulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma yang dierupsikan.
Berdasaran karakteristik morfologi, ketebalam emdapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari Propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman, dan Burma. Di antara Propinsi jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yag merupakan batas tenggara lempeng Burma.
Propinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat Sunda . di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini konvergensi sepanjang Propinsi Jawa mencapai 7,5 cm pertahun dengan sudut penunjaman antara 5 o- 8 o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200-900 m . imbrikasi di bawah punggung mka busur mempunyai ketebalan leih dari 10 km. Palung hanya berisi sedmen tipis dengan sedikit sedimen pelagis.
Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh Selat Sunda yang dianggap sebagai zona diskkontinuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah Propinsi Jawa dan Sumatera di busur Sunda. Selat ini diasusiansebagai batas tengara Lempeng Burma, namun apabila diermati dari data geofisika, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan Jawa Barat.
Propinsi Sumatera selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun dari 6.000-5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7-5,7 cm pertahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat berperan dalam embentuk sistem strike slip fault Sumatera.
Sedangkan di Propinsi Sumatera Utara – Nikobar, di sebelah barat Pulau Simeulue sumbu panjang menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simeulue cenderung ke utar – barat laut. Palung mempunyai kedalaman berkisar antara 3.500-5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6-4,1 cm pertahun.
Di Pulau Andaman palung cenderung berarh utara-selatan dengan kedalaman sekitar 3.000m. Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan besar kisaran kecepatan penunjaman berkisar antara 0,7-0,2 cm pertahun. Komponen lateral ini dipengaruhi leh pemekaran di laut Andaman, dengan lepeng Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia.
Palng Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000m. Disini punggungan muka busur menjadi punggungan Indoburman dan cekung muka busur menjadi palung sebelah barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman sangat miring dan ketebalan endapan di propinsi ini antara 8.00-10.000m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya sesar Sagaing di Burma.
Sesar Sumatera dan Pulau Sumatera merupakan prodk geodinamika Busur Sunda, keduanya merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunukkan akibat tektonik regional pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera terusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh keberadaan lempeng oseanik,sedangkan di sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng kontinen. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik diperoleh ketebalan oseanik sekitar 20 km dan ketebalan lempeng kontinen sekitar 40 km (Hamilton, 1979)
Tatanan tektonik regional sangat mempengeruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat, pertemuan subduksi antar lempeng kontinen Eurasia dan lempeng oseanik Australia mengkontruksikan busur Sunda sebagai istem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang relatif stabil, sementara di bagian timur pertemuan subduksi antar lempeng oseanik Australia dan lepeng-lempeng mikro Tersier mengkntribusikan sistem busur Sunda sebaai busur kepulauan (island arc) yang lebih stabil.
Perbedaan sudut penunjaman antara Jawa dan Sumatera Selatan di busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batsa busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di Selat Sunda. Kesimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakkan anomali gaya berat menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jikan dilakukan perbandingan dengan struktur cekungan Sumatera Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatera secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga tektonik Indonesia Barat dan Timur.
Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibandingkan Indonesia tiut. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta pergerakan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola persebaran jalur subduksi Indonesia Barat (Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986 dalam Katili, 1989). Sementara keberadaan benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur.
Pada umumya pertemuan lempeng-lemeng tektonik tersebut di Indonesia berbentuk zona subduksi yang mengakibatkan terbentuknya palun laut, basin, pengunungan, sesar serta aktivitas magma, dan gempa bumi. Baian permukaan yang naik sampai melewati muka laut membentuk pulau sedangkan yang tetap berada di bawah laut merupakan gunung bawah laut.
perkembanga tektonik wilayah ini memberikan indikasi bahwa kepulauan Indonesia merupakan salah satu kawasan yang aktif dan relatif muda di mka bumi ini. Kegiatan tektonik yang memuncak pada kala Neogen menempatkan kawasan Indonesia menjadi pusat pertemuan tiga lempeng utama buni yang berinteraksi, bergerak saling menumpu.
Kegiatan tektonik ini membentuk knfiguasi fisiografi dan tektonik Indonesia yang bercirikan archipelago di kawasan katulistiwa dengan berbagai rangkaian pegunungan lipatan dan sesar di hampir semua pulau besar dengan puncak-puncak sampai ketinggian lebih dari 3.00 meter diatsa permukaan laut dam palung laut sampai kedalaman 6.000 meter dibawah permukaan laut.
Papua yang merupakan bagian dari lempang Australia sebelmnya berada jauh diselatan dan bergerak ke arah utara mendekati khatulistiwa atau Indonesia. Di bagian utara Papua Barat batas lempeng Indo-Australia dengan lempeng pasifik berupa sesar geser sedangkan di wilayah Papua Timur bagian utara terdapat zona subduksi.
Dataran Sunda merupakan laut yang dangkal sedangkan Laut Banda, Laut Sulawesi dan Laut Sulu adalah berupa laut dalam. Palung laut dalam ditemui pada batas lempeng, yaitu mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa-Nusatenggara, melingkar di daerah Laut Banda dan di beberapa tempat di Laut Maluku. Sumatera, Jawa, dan Nusatengara yang membentuk satu busur yang panjang dimana Lempeng Indo-Australia menunjam di bawah Lempeng Eurasia sering disebut dengan zona Busur Sunda.
Berdasarkan disribusi gemba bumi terhadap kedalaman, secara umum zona subduksi di Indonsia dapat dibedakan atas empat bentuk : (1) zona penunjaman pendek seperti di Sumatera, (2) Zona penunjaman panjang seperti di Jawa sampai Nusatenggara, (3) zona penunjaman berbentuk cekung seperti di Laut Banda, (4) zona penunjaman beerbentuk cembung seperti di Laut Maluku. Zona subduksi ini membentuk 5 suture di wilayah Indonesia yaitu suture Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Sorong, dan Banda.
Wilayah Indonesia yang merupakan kepulauan meyebabkan sebagan besar dari pusat gempana berada di bawah laut. Gempa dangkal di bawah laut dapat menimbulkan tsunami, di Indonesia tercatat rata-rata terjadi tiga tsunami pertahun. Gempa bumi pada 26 Desember 2004 di Aceh mengakibatkan terjadi mega tsunami yang gelombangnya mencapai Somalia dan Tanzania di Afrika dan merupakan salah satu tsunami terbesar di dunia.
Sebagian besar daerah pantai di Indonesia rwan bencana tsunami, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampugn, sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa, Bali, Nusatenggara, Sulawesi terutama bagian barat, tengah dan utara, bagian timur Kalimantan, pulau-pulau di Maluku, dan bagian kepala burung dan utara Papua.

Kamis, 18 April 2013

SOLUSI BANJIR DENGAN PENDEKATAN KONSEP MEGAPOLITAN JABODETABEKUR


SOLUSI BANJIR DENGAN PENDEKATAN KONSEP MEGAPOLITAN JABODETABEKUR

Bencana banjir yang melanda jakarta, bekasi, dan tangerang yang hampir merendam 70 persen wilayah DKI Jakarta kembali mencuatkan semakin pentingnya perbaikan kondisi lingkungan hidup. Hampir dipastikan, kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah tersebut sudah berada pada kondisi tidak mampu lagi menopang pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan penyatuan yang terintegrasi baik dalam tatanan ruang, infrasturktur, penanganan kependudukan, serta urbanisasi.
Berdasarkan sejarah, sekitar 600 tahun yang lalu, kota Jakarta hanya merupakan sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung. Tapi kini, Jakarta telah menjadi sebuah kota megapolotan dan salah satu pusat bisnis dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia. Luas wilayah Jakarta hanya mencapai 650 km2, namum pertambahan penduduk dari tahun ke tahun amat cepat, hingga kini mecapai 9 juta jiwa dengan kepadatan 14.000 jiwa per kilometer persegi.
Tingginya pertambahan penduduk baik secara alamiah maupun migrasi, sangat rentan terhadap masalah sosial, ekonomi, dan demografi yang sangat kompleks. Karena ada korelasi antara tingginya tingkat kepadatan penduduk kota dengan tingginya tingkat tantangan dan masalah-masalah sosial Jakarta dan kota penyangga lainnya.
Mulai dari masalah penggunaan lahan perencanaan dan peyediaan sarana prasarana transportasi, oenyediaan air bersih, penanggulangan banjir, penanganan sampah, kerawanan sosial, sampai penanganan sumber daya adalam dan lingkungan hidup sebagai tatanan kehidupan warga, sekarang dan akan datang. Fenomena seperti itu sebenarnya sudah tergambar dengan tingginya tingkat kerusakan, pencemaran, dan degradasi lingkungan hidup.
Dengan kondisi seperti itu maka sudah dipastikan daya dukung dan daya tampung wilayah Jakarta untuk menopang pembangunan berkelanjutan sudah tidak mampu lagi. Untuk itu, diperlukan kebijakan penyatuan dan perencanaan tata ruang kawasan penyangga berupa kawasan terpadu, dalam satu kesatuan rencana induk (master plan) yang terintegrasi meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur.
Hal ini diperkuat dengana danya pengaturan kekhususan Jakarta sebahai ibukota Negara Republik Indonesia, pengakuan dan penghormatan satuan-satuan pemerintah daerah, yang bersifat khusus dan istimewa, sebagaimana diatur dalam Pasal 227 ayat (3) huruf c UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Maka dalam kebijakan perencanaan kawasan terpadu “Jabodetabekjur” harus diarahkan pada ruang wilayah. Perencanaan ruang wilayah mencakup kegiatan perencanaan tata ruang. Sedangkan perencanaan aktifitas pada ruang wilayah mencakupkegiatan perencanaan wilayah, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang yang terintegrasi dalam satu kesatuan. Bukan hanya dari aspek politik, melainkan juga jeseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup yang tergambar sebagai berikut:
1.      Perencanaan dan aktivitas ruang wilayah Jabodetabekjur harus berorientasi pada nilai manfaat secara komprehensif serta mampu menggambarkan proyeksi dari berbagai kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan wilayah baru, terutama di masa yang akan datang.
2.      Wilayah terpadu Jabodetabekjur harus dapat membantu dan memandu para pelaku ekonomi untuk melakukan dan mengembangkan jenis-jenis usahamereka di kawasan tersebut.
3.      Pembuatan perencanaan wilayah Jabodetabekjur harus berorientasi pada nilai manfaat secara komprehensif dan optimal bagi masyarakat. Seperti keserasian antar sektor, pengoptimalan investasi, terciptanya efisiensi, dan tetap terjaminnya lingkungan hidup.
4.      Pembuatan perencanaan wilayah Jabodetabekjur diharapkan menjadi dasar pijakan untuk perencanaan yang lebih detail, seperti dalam pembuatan sektoral dan perencanaan prasarana.

Sabtu, 23 Februari 2013

SOLUSI BANJIR DENGAN DEEP TUNNEL

SOLUSI BANJIR DENGAN MEMBANGUN DEEP TUNNEL RESERVOIR SYSTEM (DTRS)
Wilayah DKI Jakarta dan kota-kota disekitarnya sering dihadapkan pada kondisi kritis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Banjir pada musim hujan, mengalami krisis air baku sepanjang waktu, masih rendahnya cakupan layanan ait minum, eksploitasi air tanah yang berlebihan, sangat rendahnya tingkat pelayanan penanganan limbah domestik yang semakin mencemari air tanah dan tercemarnya aliran air 13 sungai yang melewati kota Jakarta adalah merupakan akumulasi permasalahan yang memerlukan penanganan segera.
Penanganan masalah krusial tersebut selama ini dilakukan secara parsial dan kurang adanya koordinasi yang baik. Untuk menangani masalah tersebut membutuhkan permbangunan sistem infrastruktur yang untuk mewujudkan dibutuhkan biaya besar. Diantaranya adalah dalam pembebasan tanah sebagaimana saat ini dihadapkan oleh Pemda DKI.
Deep Tunnel Reservoir System (DTRS) merupakan suatu emerging technology yang sudah dikembangkan di beberapa kota besar di luar negeri dalam upaya pengendalian banjir dan pengelolaan limbah cair. Fungsi DTR adalah menyimpan kelebihan air hujan (pengendalian banjir) dalam suatu reservoir bawah tanah pada musim hujan bersamaan dengan limbah rumah tangga. Air yang ditampung dalam DTR kemudian dipompakan ke permukaan untuk diolah (reklamasi) sebelum kemudian digunakan sebagai air baku bagi PAM dan sisanya dibuang ke sungai-sungai yang ada dalam upaya perbaikan kualitas air sungai di DKI Jakarta.
DTRS mengaplikasikan green technology atau teknologi ramah lingkungan sehingga tidak mencemari lingkungan karena sistem ini merupakan sistem salurah reservoir bawah. Sistem ini merupakan integrated system dari KBT dan KBB.
DTRS dinilai paling efektif dibandingkan dengan pembangunan sistem pengendalian banjir seperti waduk, kanal, sungai purba, dan sumur resapan. Sebab DTRS dapat menanggulangi banjir, mengatasi kelangkaan air baku PAM, penanganan limbah cair, konservasi air tanah, dan perbaikan kualitas sungai.
Untuk membangung Waduk Ciawai dibutuhkan dana Rp. 4,3 triliun, dan untuk membangunnya pun tidak mudah dilakukan karena terganjal pembebasan lahan. Sementara dengan membangun waduk, dari lima manfaat deep tunnel, waduk hanya mampu untuk penanganan banjir dan mengatasi kelangkaan air baku PAM.
Komparasi biaya pembangunan DTRS dan sistem penanganan konvensional adalah sebagai berikut:
·         Pembangunan sistem pengendalian banjir dibutuhkan dan Rp. 5 triliun
·         Pembangunan sistem pengelolaan limbah cair Rp. 11 triliun
·         Pembangunan alternatif sistem penyediaan air baku Rp. 2,4 triliun
·         Biaya perbaikan kualitas lima sungai Rp. 5 triliun
Sehingga total biaya pembangunan dan kerugian adalah Rp. 41,4 triliun.

Untuk membangun DTRS dari tahap awal sampai akhir selama 15 tahun, biaya yang dibutuhkan hanya Rp.21 triliun. Jumlah ini memang terlalu besar, namun sebanding dengan nilai lebih yang ditawarkan dan segi manfaat yang lebih besar. Karenanya bila dihitung dengan analisis makro untuk DTRS yaitu, perkiraan total biaya berdasarkan potensi genangan air pada 34 lokadi krusial yang bisa menampung 65 juta m3. DTRS juga bisa mengolah limbah cair sebesar 360 juta m3 per tahun. Tak hanya itu, ada tambahan kebutuhan air baku PAM sebesar 24 juta m3 per bulan.
Pembangunan terowongan air ini sudah dilakukan beberapa kota besar di dunia, seperti Hongkong, Kuala Lumpur, Singapura, dan Chicago. Pembangunan terowongan air di luar begeri merupakan proyek patungan pemerintah pusat dan daerah. Persentasenya bahkan lebih besar pemerintah pusat yang mencapai 75 persen, sedangkan sisanya ditanggung pemerintah daerah.
Jika di Singapura deep tunnel dibangun spangjang 70 kilometer selama tiga tahun, maka di Jakarta yang hanya 17 kilometer dimungkinkan dibangun satu sampai dua tahun. Pembangunan terowongan air dipastikan tidak akan mengalami masalah rumit seperti pembangunan KTB yang terganjal masalah pembebasan lahan. Pasalnya terowongan air ini dibangun 100 meter dibawah tanah.