statistik

Sabtu, 05 Februari 2011

organisasi ASEAN

A. Pembentukan ASEAN
ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus tahun 1967 di tengah situasi regional dan internasional yang sedang berubah. Pada awal pembentukannya ASEAN hanya terdiri dari lima Negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. ASEAN tidak terbentuk dalam sebuah ruang kosong, sebaliknya ia telah didahului dengan berbagai upaya pembentukan organisasi regional yang lebih terbatas ruang lingkup dan anggotanya. Pembentukan awal dimulai tahun 1961 dengan dibentuknya Association of southeast Asia (ASA). Tetapi konflik yang pecah antara Filipina dan Malaysia pada tahun tersebut menghancurkan upaya awal tersebut. Maphilindo kemudian muncul menggantikan ASA yang merupakan kerjasama antara Malaysia, Filipina, dan Indonesia tetapi percobaan kedua ini berakhir dengan politik konfrontasi yang dilancarkan Sukarno. Sementara itu konflik antara Negara berpenduduk melayu (Indonesia dan Malaysia) dan Negara berpenduduk mayoritas Cina (Singapura) juga pecah sebagai akibat dari pengorbanan awal sebelum terbentuknya organisasi regional yang lebih solid seperti ASEAN.
Dalam pertemuan di Bangkok yang diadakan pada tanggal 5 sampai 8 Agustus Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, Malaysia oleh wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak, Singapura oleh Menteri Luar Negeri S. Rajaratnam, Filipina oleh menteri Luar Negeri narsisco Ramos dan Thailand oleh Menteri Luar Negeri Thanat Khoman. Dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan bahwa Negara-negara lain pun boleh ikut serta memberikan daya dan kekuatan kepada organisasi yang akan dibentuk tersebut, dan menyinggung aka nada perhatian yang besar dari Sri lanka.
Dalam kesempatan ini semua wakil-wakil juga mengutarakan pendapatnya yang positif tentang usaha ini. Menteri Luar Negeri Malaysia mengutarakan akan pentingnya kerjasama yang erat antara bangsa-bangsa berkembang, khususnya diwiayah Asia Tenggara. S. Rajaratman dari Singapura mengharapkan agar badan ini akan dapat betul-betul terwujud secara kongkrit. Narciso ramos dari Filipina memuji atas prakasa Indonesia dalam hal ini, karena ia menilaibahwa Indonesia selama ini Indonesia seperti terisolir secara politis dari Negara-negara di sekitarnya.
B. Tujuan dan Prinsip ASEAN
Pertemuan di Bangkok antara tanggal 5 sampai 8 Agustus melahirkan suatu komunike bersama yang disebut Deklarasi Bangkok atau Deklarasi ASEAN. Pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut:
1. Mempercepat hubungan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan pershabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai;
2. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara Negara Negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip piagam Perserikatan Bangsa Bangsa;
3. Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi;
4. Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana pelatihan dan enelitian dalam bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi;
5. Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri mereka, memperluas perdagangan dan pengkajian masalah-masalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta menngkatkan taraf hidup rakyat mereka;
6. Memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara;
7. Memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk menjajagi segala kemungkinan untuk saling bekerjasama secara erat antara mereka sendiri.
Prinsip utama dalam kerjasama ASEAN antara lain adalah persamaan kedudukan dalam keanggotaan (equality), tana mengurangi kedaulatan masing-masing Negara anggota. Negara-negara anggota ASEAN sepenuhnya tetap memiliki kedaulatan ke dalam mauun ke luar (sovereignty). Sedangkan musyawarah (consensus dan concultation), kepentingan bersama (common interest), dan saling membantu (solidarity) dengan semangat ASEAN merupakan cirri kerjasama ini.

C. Keanggotaan ASEAN
Sesuai dengan pasal 4 Deklarasi Bangkok, keanggotaan ASEAN terbuka bagi seluruh Negara-negara Asia Tenggara dengan syarat Negara-negara calon anggota dapat menyetujui dasar-dasar dan tujuan organisasi ASEAn seerti yang tercantum dalam deklarasi ASEAN dan semua persetujuan yang telah dibuat ASEAN. Di samping itu, perlu adanya kesepakatan semua Negara anggota ASEAN mengenai keanggotaan baru ASEAN.
Proses keanggotaan ASEAN hingga tercapainya ASEAN-10 adalah sebagai berikut:
1. Brunei Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota ke-6 ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984, dalam siding khusus Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN di Jakarta.
2. Vietnam diterima menjadi anggota ke-7 ASEAN dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri (AMM) ke-28 pada tanggal 29 – 30 juli 1995 di Bandar Seri Begawan.
3. Laos dan Myanmar diterima sebagai anggota penuh ASEAN melalui suatu uacara resmi pada tanggal 23 juli 1997 dalam rangkaian pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) ke-30 di Subang Jaya, Malaysia, tanggal 23-28 Juli 1997.
4. Kamboja diterima sebagai anggota penuh ASEAN pada upacara penerimaan resmi di Hanoi tanggal 30 April 1999.
E. Perkembangan Kerjasama ASEAN
Perkembangan ASEAN yang pesat tidak terlepas dari pengaruh lingkungan baik di dalam maupun luar kawasan yang turut membentuk dan memperkaya pola–pola kerjasama diantara Negara anggota ASEAN. Pengalaman kawasan Asia Tenggara semasa krisis keuangan dan ekonomi pada tahun 1997–1998 memicu kesadaran ASEAN mengenai pentingnya peningkatan dan penguatan kerjasama intra kawasan. Pentingnya peningkatan dan penguatan kerjasama dipicu pula oleh munculnya isu–isu dan peristiwa global seperti masalah terorisme, lingkungan hidup, meningkatnya situasi persaingan dan ketegangan diantara negara-negara besar di kawasan, isu persenjataan nuklir dan sebagainya. Perkembangan ASEAN memasuki babak baru dengan diadopsinya Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 yang mencita-citakan ASEAN sebagai komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli,
diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020. Selanjutnya ASEAN juga mengadopsi Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Pembentukan Komunitas ASEAN ini merupakan bagian dari upaya ASEAN untuk lebih mempererat integrasi ASEAN. Selain itu, juga merupakan upaya evolutif ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang agar dapat lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak kepada kawasan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama ASEAN yaitu saling menghormati (mutual respect), tidak mencampuri urusan dalam negeri (non-interference), konsensus, dialog dan konsultasi.
Komunitas ASEAN terdiri atas 3 (tiga) pilar yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community/ASCC). Indonesia menjadi penggagas pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN dan memainkan peran penting dalam perumusan dua pilar lainnya.
Pada saat berlangsungnya KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga Rencana Aksi (Plan of Action/PoA) untuk masingmasing pilar yang merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan konsep Komunitas ASEAN. KTT ke-10 ASEAN juga mengintegrasikan ketiga Rencana Aksi Komunitas ASEAN ke dalam Vientiane Action Programme (VAP) sebagai landasan program jangka pendek–menengah untuk periode 2004-2010.
Pencapaian Komunitas ASEAN semakin kuat dengan ditandatanganinya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015” oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007.
Dengan ditandatanganinya deklarasi ini, para Pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.

a. Kerjasama terkait dengan Pilar komunitas Keamanan ASEAN
Selama 40 tahun pendiriannya, ASEAN telah berhasil mengembangkan dan mempertahankan stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara, serta menumbuhkan saling percaya di antara sesama anggotanya dan para Mitra Wicara ASEAN. ASEAN juga telah berkontribusi kepada keamanan dan kestabilan kawasan secara lebih luas di Asia Pasifik melalui Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF) sejak 1994. ARF mewadahi dialog dan pertukaran informasi mengenai masalah-masalah keamanan di Asia Pasifik.
1. Komunitas Keamanan ASEAN
Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), ditujukan untuk mempercepat kerjasama politik keamanan di ASEAN untuk mewujudkan perdamaian di kawasan, termasuk dengan masyarakat internasional. Komunitas Keamanan ASEAN bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan komprehensif, dan tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan / aliansi militer, maupun kebijakan luar negeri bersama (common foreign policy). Komunitas Keamanan ASEAN juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah ada seperti Zone Of Peace, Freedom And Neutrality (ZOPFAN), Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), dan Treaty on Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) selain menaati Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.
Beberapa perkembangan mengenai implementasi Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN adalah sebagai berikut:

 Piagam ASEAN (ASEAN Charter)
Penyusunan Piagam ASEAN bertujuan untuk mentransformasikan ASEAN dari sebuah asosiasi politik yang longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki legal personality, berdasarkan aturan yang profesional (rule-based organization), serta memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien. Piagam ini diharapkan dapat diselesaikan dan ditandatangani pada KTT ke-13 di Singapura, tahun 2007;

 Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLAT)
MLAT telah ditandatangani oleh semua negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur, Januari 2006. Traktat ini melandasi kerjasama ASEAN di bidang hukum pidana.

 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism/ACCT)
ACTT ditandatangani pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, Januari 2007. Indonesia sebagai Lead Sheppherd di bidang pemberantasan terorisme telah memelopori proses perumusan ACCT. Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat guna peningkatan kerjasama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme. Selain memiliki karakter regional, ACCT bersifat komprehensif (meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan program rehabilitasi) sehingga memiliki nilai tambah bila dibandingkan dengan konvensi sejenis.

 ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM)
Pembentukan ADMM merupakan inisiatif Indonesia dan bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan, melalui dialog serta kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan. ADMM telah mengadakan pertemuan pertamanya pada bulan Mei 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia. ADMM bersifat outward looking, terbuka, transparan dan melibatkan Mitra Wicara ASEAN, sehingga di masa mendatang dimungkinkan adanya mekanisme ADMM Plus.

 Rencana Pembentukan Traktat Ekstradisi ASEAN
Rencana pembentukan traktat ekstradisi ASEAN merupakan amanat Bali Concord 1976 dan Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN. Para pejabat tinggi ASEAN di bidang hukum dalam pertemuan ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM) Ke-11 di Siem Reap, Kamboja, 29-30 Januari 2007, menyepakati untuk membentuk kelompok kerja untuk memulai proses perumusan traktat ekstradisi ASEAN.

 Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan
ASEAN telah berhasil mengelola potensi konflik di Laut China Selatan menjadi potensi kerjasama yang melibatkan beberapa negara ASEAN dan China. ASEAN dan China telah berhasil menyepakati Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) yang ditujukan untuk menyelesaikan persengketaan secara damai. DOC akan diimplementasikan melalui suatu code of conduct in the South China Sea. Dalam kaitan ini, ASEAN-China Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea menyepakati 6 proyek kerjasama dalam rangka confidence building measures guna mendukung implementasi DOC.

2. Kawasan Damai, Bebas Dan Netral (Zone Of Peace, Freedom And Neutrality Declaration/ZOPFAN)
Deklarasi ZOPFAN yang ditandatangani di Kuala Lumpur tahun 1971 merupakan upaya ASEAN untuk menciptakan kawasan yang damai, bebas, dan netral dari segala bentuk campur tangan pihak luar di Asia Tenggara. Pada KTT ke-1 ASEAN tahun 1976, ZOPFAN secara resmi diangkat oleh negara-negara anggota sebagai kerangka bagi kerja sama politik ASEAN. ZOPFAN tidak hanya merupakan kerangka perdamaian dan kerjasama di Asia Tenggara melainkan juga mencakup kawasan Asia Pasifik yang lebih luas temasuk major powers dalam bentuk serangkaian tindak pengekangan diri secara sukarela (voluntary selfrestraints). Dengan demikian, ZOPFAN tidak mengesampingkan peranan major powers, tetapi justru memungkinkan keterlibatan mereka secara konstruktif dalam penanganan masalah-masalah keamanan kawasan.

3. Traktat Persahabatan dan Kerjasama (Treaty Of Amity And Cooperation/TAC)
Salah satu instrumen penting dalam upaya mewujudkan ZOPFAN dan menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara adalah TAC. Pada dasarnya prinsip-prinsip yang terkandung di dalam TAC juga tercermin di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) antara lain prinsip 'noninterference' dan penggunaan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik yang timbul diantara negara-negara penandatangan TAC.

4. Kawasan Bebas Senjata Nuklir Di Asia Tenggara (South-East Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ)
South-East Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) Treaty ditandatangani di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 dan telah diratifikasi oleh seluruh negara ASEAN. Traktat ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 1997. Pembentukan SEANWFZ menunjukkan upaya negara-negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas kawasan baik regional maupun global, dan dalam rangka turut serta mendukung upaya tercapainya suatu pelucutan dan pelarangan senjata nuklir secara umum dan menyeluruh.

5. Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum/ARF)
ASEAN Regional Forum (ARF) diprakarsai oleh ASEAN pada tahun 1994, sebagai forum untuk saling tukar pandangan dan informasi bagi negara-negara Asia-Pasifik mengenai masalahmasalah politik dan keamanan, baik regional maupun internasional. Sasaran yang hendak dicapai melalui ARF adalah mendorong saling percaya (confidence building measures) melalui transparansi dan mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan maupun konflik di kawasan Asia Pasifik.



6. Kerjasama di Bidang Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara
Kerjasama ASEAN dalam rangka memberantas kejahatan lintas negara (transnational crime) pertama kali diangkat pada pertemuan para Menteri Dalam Negeri ASEAN di Manila tahun 1997 yang mengeluarkan ASEAN Declaration on Transnational Crimes. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi di atas, kerjasama ASEAN dalam memerangi kejahatan lintas negara dilaksanakan melalui pembentukan Pertemuan Para Menteri ASEAN terkait dengan Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime/AMMTC). Beberapa perjanjian yang telah dihasilkan ASEAN terkait dengan pemberantasan kejahatan lintas negara yaitu:
 ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes yang mencakup kerjasama pemberantasan terorisme, perdagangan obat terlarang, pencucian uang, penyelundupan dan perdagangan senjata ringan dan manusia, bajak laut, kejahatan internet dan kejahatan ekonomi internasional;
 Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLAT) ditandatangani tahun 2006;
 Agreement of Information Exchange and Establishment of Communication Procedures ditandatangani tahun 2002, merupakan perjanjian di tingkat sub regional guna penanganan kejahatan lintas batas melalui pertukaran informasi;
 ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism ditandatangani tahun 2001 dalam penanganan terorisme.
 ASEAN Convention on Counter Terrorism ditandatangani tahun 2007 sebagai instrumen hukum dalam penanganan terorisme.

7. Kerjasama di Bidang Hukum
Kerjasama ASEAN di bidang hukum dilaksanakan melalui mekanisme pertemuan para Pejabat Tinggi ASEAN di bidang hukum (ASEAN Senior Law Officials’ Meeting /ASLOM) yang dilaksanakan setiap tahun dan pertemuan para Menteri Hukum ASEAN (ASEAN Law Ministerial Meeting/ALAWMM) yang dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun.

8. Kerjasama di Bidang imigrasi dan Kekonsuleran
Para Menteri Luar Negeri ASEAN telah menandatangani Perjanjian Kerangka ASEAN mengenai Bebas Visa (ASEAN Framework Agreement on Visa Exemption) ditandatangani pada AMM ke-39 di Kuala Lumpur, 25 Juli 2006. Persetujuan ini memberlakukan bebas visa kunjungan singkat bagi warga negara anggota ASEAN yang melakukan perjalanan di wilayah ASEAN selama 14 hari. Perjanjian dimaksud diharapkan dapat mendorong pencapaian Komunitas ASEAN melalui peningkatan perjalanan intra-ASEAN dan people-to-people contact.

9. Kerjasama Kelembagaan Antar Parlemen
Berdasarkan usulan dari Parlemen Indonesia dalam Sidang Umum AIPO ke-27 di Cebu, Filipina, 10-15 September 2006, AIPO berganti nama menjadi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA). Pergantian nama ini dimaksudkan untuk mendorong proses transformasi AIPA dalam mendukung upaya perwujudan Komunitas ASEAN. Meskipun AIPA bukan badan ASEAN karena ASEAN merupakan organisasi antar-pemerintah, namun AIPA memiliki status konsultatif dengan ASEAN. AIPA melakukan dialog dengan anggota parlemen dari negara-negara Mitra Wicara ASEAN yang bertindak sebagai Observers seperti Australia, Kanada, China, Uni Eropa, Jepang, Selandia Baru, Papua New Guinea, Rusia, dan Korea Selatan.

10. Upaya Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN
Para Menteri Luar Negeri ASEAN pada AMM Ke-26 di Singapura, Juli 1993 menyepakati perlunya mempertimbangkan pendirian mekanisme HAM regional yang sesuai di ASEAN. Hal ini merupakan tanggapan ASEAN terhadap Vienna Declaration and Programme of Action (1993) mengenai antara lain pendirian mekanisme HAM regional untuk mendukung promosi dan perlindungan HAM global. AIPA di tahun yang sama mengeluarkan Human Rights Declaration yang mencantumkan himbauan kepada kepada pemerintah negaranegara ASEAN untuk membentuk mekanisme HAM ASEAN.

b. Kerjasama terkait dengan pilar ekonomi ASEAN
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota
maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negaranegara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.

1. Kerjasama di Sektor Industri
Kerjasama di sektor industri merupakan salah satu sektor utama yang dikembangkan dalam kerjasama ekonomi ASEAN. Kerjasama tersebut ditujukan untuk meningkatkan arus investasi, mendorong proses alih teknologi dan meningkatkan keterampilan negara-negara ASEAN, termasuk dalam bentuk pertukaran informasi tentang kebijaksanaan perencanaan industri nasional masing-masing. Kerjasama ASEAN di sektor perindustrian diarahkan untuk
menciptakan fasilitas produksi baru dalam rangka mendorong perdagangan intra-ASEAN melalui berbagai skema kerjasama yang dikembangkan berdasarkan konsep resource pooling dan market sharing.

2. Kerjasama di Sektor Perdagangan
Kerjasama di sektor perdagangan barang diawali dengan ditandatanganinya Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangement (ASEAN PTA) tahun 1977 di Manila yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1978. Dalam pelaksanaannya kerjasama di sektor perdagangan dinilai masih memerlukan berbagai upaya peningkatan, terutama untuk mata dagangan yang secara nyata diperdagangkan tetapi belum dapat diberikan tingkat preferensi yang memadai. Selain itu, masih diperlukan pula pendekatan yang lebih efisien, baik dalam prosedur administrasi maupun berbagai upaya untuk mengurangi berbagai hambatan non-tarif, meningkatkan komplementaritas dan untuk mengurangi kebijakan substitusi impor yang bersifat inward-looking.
 ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Momen penting pengembangan kerjasama di bidang ekonomi dicapai pada 1992 ketika ASEAN menyepakati Kerangka Persetujuan mengenai Peningkatan Kerjasama Ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation) yang berfungsi sebagai payung bagi semua bentuk kerjasama ekonomi ASEAN di masa mendatang. Pada tahun yang sama, ASEAN juga menyepakati pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA).


 Perdagangan Bebas dengan Mitra Wicara (FTA)
Disamping berupaya mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN, negara-negara anggota ASEAN juga tetap mempertahankan sifat terbuka terhadap negara-negara lain dengan menjalin kerjasama di berbagai bidang. KTT ASEAN+3 (China, Jepang, Korea) yang diselenggarakan bersamaan dengan penyelenggaraan KTT Informal ke-3 ASEAN di Manila tanggal 27-28 Nopember 1999 menghasilkan Joint Statement on Cooperation in East Asia sebagai wujud komitmen ASEAN dalam mengembangkan kerjasama dengan Mitra Wicara.

3. Kerjasama di Sektor Jasa
Untuk meningkatkan daya saing para penyedia jasa di ASEAN, kerjasama regional di sektor jasa terus ditingkatkan dengan disepakatinya ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang ditandatangani oleh para Menteri Ekonomi ASEAN pada saat pelaksanaan KTT ASEAN ke-5 di Bangkok bulan Desember 1995. AFAS antara lain berisi kesepakatan untuk:
 Meningkatkan kerjasama di bidang jasa antar negara anggota ASEAN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi dan pasokan serta distribusi jasa baik antar para penyedia jasa di ASEAN maupun di luar ASEAN;
 Menghapus hambatan-hambatan perdagangan jasa yang substansial antar negara anggota;
 Meliberalisasi perdagangan jasa dengan memperdalam dan memperluas cakupan liberalisasi yang telah dilakukan oleh negara-negara anggota dalam kerangka GATS/WTO dengan tujuan mewujudkan perdagangan bebas sektor jasa.

4. Kerjasama di Sektor Investasi
Di sektor investasi, kerjasama ASEAN diawali dengan dikemukakannya gagasan pembentukan suatu kawasan investasi ASEAN pada Pertemuan Pemimpin ASEAN di Bangkok pada tahun 1995. Untuk menindaklanjuti gagasan tersebut, pada tahun 1996, dibentuk Komite Kerja Kawasan Investasi ASEAN (WC-AIA), yang berada dibawah naungan SEOM, dengan mandat menyiapkan sebuah Persetujuan Dasar tentang Kawasan Investasi ASEAN (Framework Agreement on ASEAN Investment Area/FA-AIA).
Sejak tahun 2003, ASEAN-6 telah memberikan national treatment untuk sektor manufaktur kepada investor ASEAN, sementara untuk CLMV akan dimulai pada tahun 2010. Sementara untuk sektor pertanian, perikanan, kehutanan, tambang, dan jasa, ASEAN-6 dan Kamboja menyetujui memberikan national treatment pada tahun 2010, Vietnam tahun 2010 sementara Laos dan Myanmar pada tahun 2015.

5. Kerjasama di Sektor Komoditi dan Sumber Daya Alam
Kerjasama ASEAN di sektor komoditi dan sumber daya alam secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua sub-sektor, yaitu kerjasama di sub-sektor pertanian dan kehutanan serta kerjasama di sub-sektor energi dan mineral.

6. Kerjasama ASEAN di Sektor Usaha Kecil dan Menengah
Kerjasama ASEAN di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) telah dirintis sejak tahun 1995, yang ditandai dengan dibentuknya Kelompok Kerja Badan-Badan UKM ASEAN (ASEAN Working Group on Small and Medium-size Enterprises Agencies). Dalam pertemuan pertamanya di Jakarta tanggal 24 April 1995 telah disahkan Rencana Aksi ASEAN bagi pengembangan UKM. Pertemuan ini juga menyepakati bahwa pada tahap awal kerjasama ASEAN di bidang UKM akan terfokus pada sektor manufaktur.

7. Kerjasama Ekonomi Sub-Regional ASEAN
Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dilakukan untuk mengambil manfaat dan saling melengkapi dalam mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan arus investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan sumber daya alam dan manusia, serta pengembangan industri. Tujuan utama pembentukan sub-wilayah pertumbuhan adalah untuk memadukan kekuatan dan potensi-potensi tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi wilayah pertumbuhan yang dinamis. Kerjasama ekonomi sub-regional, sering juga disebut sebagai segitiga pertumbuhan (growth triangle) atau wilayah pertumbuhan (growth area), merupakan salah satu bentuk keterkaitan (linkage) ekonomi antar daerah dengan memiliki unsur internasional. Daerah anggota kerjasama tersebut lebih dari satu negara.

8. Kerjasama Pembangunan ASEAN
Upaya peningkatan kerjasama ASEAN di bidang pembangunan mulai dirintis sejak tahun 1996 melalui Pertemuan Pejabat Senior Badan-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ASEAN (Senior Officials Meeting on Development Planning (SOM-DP). Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menjalin kerjasama antar badan-badan perencanaan pembangunan di negara-negara anggota ASEAN agar lebih mensinergikan kebijakan dan program pembangunan dari masing-masing negara ASEAN dengan rencana pembangunan regional yang tertuang dalam Vision 2020.

c. Kerjasama Terkait Dengan Pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN
Pelaksanaan kerjasama fungsional ASEAN dalam upaya mencapai Komunitas Sosial Budaya ASEAN disesuaikan dengan VAP 2004-2010. Pelaksanaan dan pemantauan implementasi Rencana Aksi Komunitas Sosial Budaya ASEAN dilakukan oleh badan-badan ASEAN terkait serta dicerminkan dalam laporan Sekretaris Jenderal ASEAN kepada KTT ASEAN. Kerjasama sosial budaya mencakup bidang-bidang kebudayaan, penerangan, pendidikan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, penanganan bencana alam, kesehatan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, kepemudaan, penanggulangan narkoba, peningkatan administrasi dan kepegawaian publik, serta Yayasan ASEAN.

1. Kerjasama Bidang Pendidikan
Kerjasama bidang pendidikan di wilayah Asia Tenggara berawal pada saat pembentukan South East Asian Ministers of Education Organizaton (SEAMEO) tanggal 30 Nopember 1965. Pada pertemuan ASEAN Education Ministers Meeting (ASED) kedua di Bali tanggal 16 Maret 2007 telah dibahas antara lain hal-hal sebagai berikut:
• Menghidupkan kembali ASEAN Student Exchange Programme pada tahun 2008 dan seterusnya sampai 2013.
• Menegaskan pentingnya peran dunia pendidikan di ASEAN, membangun identitas ASEAN dan lingkungan yang multicultural.
• Mengupayakan substansi pendidikan terefleksi dalam ASEAN Charter, yang tidak hanya berada pada pilar sosial budaya melainkan mencakup ketiga pilar Komunitas ASEAN, yang dapat meningkatkan competitiveness masing-masing Negara anggota maupun ASEAN sebagai organisasi regional.

2. Kerjasama Bidang Pembangunan Pedesaan dan Pengentasan Kemiskinan
Kerjasama ASEAN di bidang pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan didasari oleh Dokumen Ministerial Understanding on Rural Development and Poverty Eradication (RDPE). Kerjasama ini menekankan penanggulangan masalah kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf, serta meningkatkan kerjasama di bidang pembangunan sosial dan ekonomi.

3. Kerjasama Bidang Kesehatan
Kerjasama yang paling menonjol di bidang kesehatan adalah penanggulangan masalah penyakit menular. Terkait dengan hal ini, ASEAN telah memiliki ASEAN Work Programme on HIV dan AIDS III 2006-2010 (AWP III) dan Operational Work Plan of the Third ASEAN Work Programme on HIV and AIDS (AWP III).
Kerjasama penanganan HIV dan AIDS dipertegas kembali dalam KTT ke-12 ASEAN di Cebu melalui ASEAN Comitments on HIV and AIDS. Inti dari komitmen bersama itu antara lain kesepahaman untuk memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, menghilangkan stigma dan diskriminasi serta meningkatkan kerjasama pemerintah dengan civil society dan swasta. Dalam penanganan flu burung, ASEAN telah mencapai suatu kemajuan dengan adanya bantuan stockpile tamiflu dan Personel Protective Equipment (PPE) yang berlokasi di Singapura. Stockpile tersebut merupakan bentuk tindakan kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi flu burung dalam kawasan. Bantuan tersebut merupakan tindak lanjut dari KTT ke-9 ASEAN-Jepang pada Desember 2005.

4. Kerjasama Bidang Ketenagakerjaan
Kerjasama ASEAN di bidang ketenagakerjaan dilakukan melalui pembentukan pusat pelatihan dan informasi mengenai perbaikan lingkungan kerja, yang dikenal dengan ASEAN Occupational Safety and Health Network (ASEAN-OSHNET) pada bulan Agustus 2000. ASEAN-OSHNET bertujuan meningkatkan daya saing dan kompetensi tenaga kerja ASEAN, serta menciptakan jaringan kelembagaan yang kuat. Sekretariat ASEAN-OSHNET yang pertama kali bertempat di Indonesia untuk tahun 2000-2004. Selanjutnya Sekretariat ASEAN-OSHNET digilir setiap 3 tahun sekali untuk masing-masing negara anggota ASEAN.

5. Kerjasama Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial
Kerjasama di bidang pembangunan dan kesejahteraan sosial dilakukan melalui ASEAN Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development (SOMSWD). SOMSWD memfokuskan pada program-program kesejahteraan sosial yang meliputi antara lain kependudukan, anak-anak, penyandang cacat, lansia dan keluarga.

6. Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lingkungan Hidup dan Bencana Alam
 Kerjasama Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kerjasama Iptek untuk saat ini diarahkan terutama pada upaya memasyarakatkan Iptek dengan mendorong partisipasi sektor swasta dan civil society. Selain itu, kerjasama juga diarahkan pada upaya peningkatan pemanfaatan Iptek terapan terutama pada sektor-sektor relevan yang diharapkan dapat membawa manfaat bagi pembangunan sosial dan ekonomi. Untuk itu, dibentuk Advisory Body on the ASEAN Plan of Action on Science and Technology (ABAPAST) dan disusun Rencana Aksi Iptek ASEAN periode 2007-2011 yang terintegrasi dengan VAP 2004-2010.
Beberapa bentuk kerjasama yang saat ini sedang dikembangkan ASEAN antara lain:
 Rencana pendirian ASEAN Centre for Infectious Disease,
 Pengembangan jaringan pusat penelitian untuk penanganan penyakit menular, lingkungan hidup, bencana, SDM, biofuel, pengembangan energi terbarukan dan alternatif; serta
 Pengembangan tekonologi dan keamanan pangan.
 Kerjasama Lingkungan Hidup
Seiring dengan makin meluasnya lingkup kerjasama lingkungan hidup di kawasan ASEAN, pada tahun 1990 dibentuk ASEAN Senior Officials on the Environment (ASOEN), mencakup 6 Kelompok Kerja:
 Penanganan Polusi Lintas-Batas;
 Konservasi Alam;
 Lingkungan Hidup Kelautan;
 Pengelolaan Lingkungan Hidup;
 Ekonomi Lingkungan; dan
 Informasi Lingkungan, Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Publik.

 Kerjasama Penanggulangan Bencana Alam
ARPDM memuat kerangka kerjasama antar negara ASEAN dan juga dengan Mitra Wicara dan organisasi internasional untuk periode 2004 – 2011. Rangkaian program terpadu ARPDM, mencakup lima komponen inti dan mencakup lebih dari 29 kelompok kegiatan. Kelima komponen inti dimaksud adalah:
 Pembentukan Kerangka Penanganan Bencana Regional ASEAN;
 Peningkatan Kapasitas;
 Pertukaran Informasi dan Sumber Daya;
 Peningkatan Kolaborasi dan Penguatan Kemitraan; serta
 Peningkatan Pengetahuan, Kesadaran dan Advokasi Publik.

7. Kerjasama Bidang Sumber Daya Manusia dan Yayasan
ASEAN
• Kerjasama Pemajuan Wanita
Dari sisi perkembangan regional policy framework, terdapat tiga deklarasi penting ASEAN yang terkait dengan isu wanita dan telah disahkan, yakni:
1. Declaration on the Advancement of Women in ASEAN, tahun 1988;
2. The Declaration on HIV and AIDS, tahun 2001;
3. The Declaration against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, tahun 2004; dan
4. The Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW), tahun 2004.

Sejauh ini, terdapat dua Work Plan yang telah disusun dan disahkan sebagai tindak lanjut dari deklarasi-deklarasi yang dihasilkan, antara lain:
1. Work Plan on Women’s Advancement and Gender Equality (2005-2010) sebagai tindak lanjut dari 1988 Declaration on the Advancement of Women in the ASEAN Region; dan
2. Work Plan to Operationalize the Declaration on the Elimination of Violence against Women in ASEAN sebagai tindak lanjut dari Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW) 2004.
Pertemuan ini menghasilkan Joint Statement dan komitmen negara-negara ASEAN untuk menguatkan kapasitas institusi dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai konsep dan penerapan pengarusutamaan gender serta meningkatkan kerjasama regional dalam pengawasan dan evaluasi efektifitas pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi pembangunan.

• Kerjasama Bidang Pemuda
Terdapat 4 bidang prioritas yang diidentifikasikan dalam Program Kerja:
1. Policy Development;
2. Promoting ASEAN Awareness and Civic Responsibility / Youth Leadership;
3. Promoting Employability of Youth; dan
4. Other Issues (Information Exchange, Promoting NGO Involvement and Other non project activities).
Beberapa program yang dilaksanakan antara lain dalam bentuk ASEAN Youth Exchange Programme, ASEAN Youth Camp, Program Kapal Pemuda ASEAN–Jepang, ASEAN Youth Volunteer Programme, dan lain-lain. Program Pemuda yang barubaru ini selesai dilaksanakan adalah:
a. Regional Capacity Building Workshop to Promote Youth- Initiated (ICT) Enterprises, 7-9 Maret 2007, di Yangoon. Tujuan pelaksanaan workshop ini adalah untuk meningkatkan kapasitas para pejabat dibidang kepemudaan, tokoh pemuda tentang bagaimana pemuda menggagas peluang usaha di bidang ICT; dan
b. ASEAN Youth Leadership Development Programme (AYLDP), 25-30 Maret 2007, di Kuala Lumpur, membahas konsep dan modul kepemimpinan pemuda, formulasi kebijakan dan volunteer pemuda.

8. Kerjasama Bidang Penanggulangan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Obat-obat Terlarang (P4GN)
 Kerjasama Bidang Yayasan ASEAN (ASEAN Foundation)
Untuk dapat melaksanakan program-program dan kegiatankegiatannya, Yayasan didukung dengan dana abadi dan dana operasional (endowment fund and operational fund) yang didapat dari kontribusi negara-negara anggota ASEAN, Mitra Wicara ASEAN, sektor swasta, yayasan-yayasan perorangan ataupun donatur lainnya. Yayasan ASEAN mempunyai tiga organ penting, yaitu Dewan Penyantun (Board of Trustees/BOT), Dewan Penasehat (Council of Advisor), dan Direktur Eksekutif (Executive Director). Setiap negara anggota mempunyai seorang wakil di Dewan Penyantun yang bertugas membuat kebijakan, menentukan prioritas-prioritas dan mengesahkan anggaran tahunan serta persetujuan proyek. Dewan Penasehat bertugas memberikan masukan dan rekomendasi kepada Dewan Penyantun.



 Kerjasama Bidang Kepegawaian dan Administrasi
Dibentuknya ASEAN Conference on Civil Service Matters (ACCSM) pada tahun 1981 mempunyai tujuan untuk saling tukar menukar pengalaman kerja serta memperbaiki efisiensi dan efektivitas manajemen publik yang dalam fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adapun mekanisme ACCSM meliputi kegiatan-kegiatan antara lain: konferensi/seminar tingkat para pimpinan (pejabat tinggi pemerintahan) maupun pakar dibidang pelayanan umum, pertukaran kunjungan antara pejabat pemerintahan, pelatihan dan penelitian dibidang administrasi publik dan hal lain yang berhubungan dengan kebijakan pegawai di lingkungan ASEAN.

pandangan orientalisme terhadap Islam

1. Pengertian Orientalisme
Orientalisme adalah sebuah istilah yang berasal dari kata “orient” bahasa Perancis yang secara harfiah berarti “timur”. Sedangkan secara geografis berarti “dunia belahan timur” dan secara etnologis berarti “bangsa-bangsa di timur”.
Joesoef Sou’yb, dalam bukunya “Orientalisme dan Islam”, mengemukakan bahwa kata “orient” itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti “hal-hal yang bersifat timur” yang cakupannya amat luas. Sedangkan “isme” (bahasa Belanda) atau “ism” (bahsa Inggris” menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan lingkungannya.
Adapun orientalis adalah ilmuan Barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang tercakup di dalamnya tentang bahasa-bahasa, kesusasteraan, peradaban, dan agama-agama.
2. Ruang lingkup Orientalisme
Dalam pengertian sempit, orientalisme adalah kegiatan penyelidikan dari para pakar di Barat mengenai agama-agama di Timur, khususnya tentang agama islam. Kegiatan penyelidikan tersebur telah berlangsung selama berabad-abad secara periodik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke-19 Masehi. Penyelidikan tersebut bermula secara terpisah mengenai masing-masing agama itu. Max Muler (1823-1900) pada akhirnya menjelang penghujung abad ke -19 itu menyalin seluruh kitab-kitab yang terpandang suvci oleh masing-masing agama di Timur ke dalam bahasa Inggris, terdiri dari 51 jilid tebal, berjudul The Sacred Books of The East (kitab-kitab suci dari timur) yang biasanya disingkat “SBE”. Berkat cara Muller itu dalam membahas masing-masing agama mengikuti bunyi dan isi masing-masing kitab suci hingga mendekati objektivitasnya, hal mana cara it sangat berbeda dengan masa sebelumnya maupun masanya sendiri, maka ia pun kemudian dipandang sebagai pembangun sebuah disiplin ilmu yang baru, yang dikebal dengan Comparative Religions (agama perbandingan).
Sebenarnya objek kajian orientalisme cukup luas, yaitu menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di Timur. Sekedar ilustrasi, Sou’yb membayangkan kegiatan penyelidikan tersebut secara garis besar meliputi bidang-bidang sebgai berikut:
1. Bidang Kepurbakalaan (archeology)
2. Bidang Sejarah (history)
3. Bidang Bahasa (linguistic)
4. Bidang Agama (religion)
5. Bidang Kesusasteraan (literatures)
6. Bidang Keturunan (ethnology)
7. Bidang Kemasyarakatan (sociology)
8. Bidang Adat Istiadat (custom)
9. Bidang Kekuasaan (politic)
10. Bidang Kehidupan (economi)
11. Bidang Lingkungan (fauna dan flora)
12. Dan lain-lain
Meskipun kajian orientalisme tersebut sedemikian luas, pada pembahasan berikutnya akan membatasi pada kajian orientalisme mengenai Islam, khususnya tentang Nabi Muhamad saw, Al-Qur’an, dan Islam.
3. Sebab-Sebab Lahirnya Orientalisme
Qasim Assamurai, dalam bukunya “bukti-bukti kebohongan orientalis” mengemukakan beberapa pandangan mengenai faktor-faktor penyebab lahirnya orientalisme, antara lain:
a) Bahwa orientalisme itulahir akibat Perang Salib (1096-1270) atau ketika dimulai pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen Barat di Palestina. Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat Kristen dan umat Islam selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Salahuddin al-Ayubi.
b) Terjadinya peperangan berdarah yang berkecamuk antara orang-orang Islam dan Kristen di Andalusia, khususnya setelah Alfonso VI menaklukkan Toledo pada tahun 488 H (1085 M). dari situlah lahir gerakan tobat dan penghapusan dosa yang berpusa di biara Kluni yang didominasi para pendeta Venesia dengan pimpinan Santo Peter the Venerable dari Perancis. Dari biara itu, munncul gerakan perubahan Kristen Spanyol dengan semua kitab dan upacara ritualnya, serta menetapkan Kristen Katolik Romawi sebagai agama yang benar. Para pendeta menganggap bahwa agama Kristen Spanyol telah rusak akibat dimasuki oleh banyak unsur Islam.
c) Sebagian lagi berpendapat bahwa lahirnya orientalis itu ada dua, pertama karena kebutuhan Barat untuk menolak Islam, dan kedua untuk mengetahui penyabab kekuatan yang mendorong umat Islam khususnya setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H (1453 M) serta tibanya pasukan Turki Usmani ke perbatasan Wina.
d) Di kalangan ahli teologi berpendapat bahwa lahirnya orientalis itu merupakan kebutuhan mereka untuk memahami intelektualitas Islam, karena ada hubungannya dengan Taurat dan Injil.
e) Sebagian lainnya berpendapat bahwa orientalis itu lahir untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur Dekat, Afrika utara dan Asia Tenggara serta kebutuhan mereka dalam rangka memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu dei memperkokoh memuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan.
4. Motivasi Orientalis Mengkaji Islam
a) Motivasi Aqidah atau Keagamaan
Faktor utama yang mendorong orang-orang Barat mempelajari dunia Timur adalah faktor agama terlebih dahulu. Perang Salib telah memberi bekas kepahitan yang sangat mendalam pada orang-orang Eropa. Dari sini timbullah gerakan reformasi Kristen, sehingga umat Kristen merasakan suatu kebutuhan mendesak untuk melihat kembali penafsiran mereka terhadap al-Kitab; dan untuk memahami sesuai dengan perkembangan baru yang dilancarkan oleh kaum reformis.
Umar Bin Ibrahim Ridwan dalam bukunya “Ara al-Mustashriqin Halwa al-Qur’an al-Alkarim Wa Tafsirihi” mengatakan bahwa usaha-usaha selanjutnya yang dilakukan oleh kaum orientalis setelah mempelajari Islam:
• Berusaha mencemarkan dan mengaburkan nilai-nilai kebenaran Islam, agar umat Islam mengalami kebimbangan dalam beragama
• Melindungi kaum Nasrani dari bahaya Islam
• Berusaha mengkristenkan orang-orang Islam
Semangat Evangelisme inilah yang menjadi pendorong dalam melakukan sikap permusuhan terhadap Islam. Dan motivasi dalam bidang keagamaan inilah yang menjadi motivasi dasar orientalis dalam mengkaji Islam.
b) Motivasi Ekonomi dan Perdagangan
Diantara motivasi Barat mengkasi Islam adalah dalam kerangka menerobos pasar perdagangan di dunia Timur. Mereka bekerja-sama dengan dunia Timur untuk membuka pasar-pasar, menggali sumber-sumber alam, pertambangan, dan lain-lain. Mereka kemudian mendirikan pabrik-pabrik di wilayah Timur, tetapi belakangan mereka berusaha membunuh atau mematikan kegiatan produksi dan lalulintas perdagangan yang dikuasai oleh orang-orang Timur (Islam), sehingga lambat laun usaha-usaha yang dimiliki oleh orang-orang itmur mengalami kemunduran, dan sebliknya milik orang-orang Barat yang mengalami kemajuan pesat.
Ketika orang-orang Timur sudah dalam posisi lemah inilah para imperalis atau kaum orientalis memanfaatkan kelemahan orang –orang Timur agar merendahkan diri di depan orang Barat, mengemis dan meminta bantuan. Dari sinilah orang-orang Barat mulai menancapkan kuku kekuasaan sebagai kaum imperialis (penjajah) sekaligus ingin menunjukkan bahwa betapa pun orang Barat adalah di atas segalanya bagi dunia Timur.
c) Motivasi Politik dan Penjajahan
Perang Salib merupakan peperangan yang pada dasarnya memperebutkan kekuasaan daerah yang semula dikuasai oleh kaum Kristen yang selanjutnya direbut oleh orang Islam. Karena merasa daerah kekuasaannya direbut oleh orang Islam, maka timbullah keinginan orang Kristen (Barat) untuk meraihnya kembali sebagai daerah yang semula menjadi miliknnya.
Azra mengklasifikasikan perang salib yang merupakan sebuah wujud konfrontasi antara Kristen dan Islam sebagai bentuk benturan antara Barat dan Timur dalam tataran politik.
Perkembangan selanjutnya kajian orientalisme dikaksudkan untuk mensukseskan imperalis Eropa pada negara-negara islam dengan adanya penjajahan. Ini terjadi misalnya di negara Mesir oleh Perancis dan negara Indonesia oleh Belanda. Proses imperialisme ini diawali dengan kolonialisme Eropa setelah mengenal dunia Timur yang memiliki bahan pokok perdagangan mereka dan sumber daya alam yang melimpah. Dalam usaha perluasan perdagangan mereka kemudian berusaha menguasai daerah jajahan agar mereka leluasa mengeruk kekayaan dan sumber daya alamnya. Dalam hal ini kolonialisme atau imperialisme dan orientalisme bergabung merupakan dua proses yang berkesinambungan. Orientalisme berperan sebagai alat untuk mendukung usaha imperialis Barat, sedangkan imperialis bertugas memberikan informasi dan laporan tentang segala hal mengenai daerah penjajahan yang dikuasai.
d) Motivasi Ilmiah dan Kebudayaan
Peradaban Islam pernah mencapai puncak kemajuan di dua kota besar Islam, yaitu Bagdad dan Andalusia. Dari kedua kota besar inilah kemudian berpengaruh pada kota-kota disekitarnya. Pada masa-masa jayanya tersebut, banyak bangsa Eropa berduyun-duyun menuntut ilmu di sekolah-sekolah islam. Mereka melihat kemajuan dan perkembangan peradaban dunia Islam; mereka pun kemudian menyaksikan betapa tinggi perkembangan ilmu dan filsafat sehingga banyak digandrungi oleh para cendikiawan.
5. Program-program Orientalis
a) Pengajaran di Perguruan Tinggi
Hampir di semua universitas Eropa dan Amerika terdapat fakultas khusus yang mempelajari dirasah islamiyah dan bahasa Arab, bahkan di beberapa universitas terdapat lebih dari satu jurusan seperti di Universitas Munchen, disana terdapat fakultas bahasa Samiyah dan Islamic Studies serta jurusan sejarah dan peradaban timur dekat.
b) Menghimpun manuskrip Arab
Sejak lama orientalis menaruh perhatian dan sangat interest terhadap pengumpulan manuskrip-manuskrip Arab dari setiap negeri Timur Islam. Kebijaksanaan ini mereka lakukan berdasarkan pertimbangan bahwa manuskrip-manuskrip tersebut adalah peniggalan yang kaya dengan ilmu pengetahuan.
Banyak pemerintah di Eropa yang mewajibkan kepada kapal-kapal dagang yang mondar-mandir ke dunia Timur unutk tidak lupa membawa manuskrip-manuskrip (diambila dengan paksa) dari Timur itu telah ikut menunjang atau memberikan kemudahan bagi pengajaran dan perkembangan bahasa Arab di Eropa.
c) Mengadakan Koreksi dan Penerbitan
Orientalis tidak hanya mengumpulkan manuskrp dan memebri indeks saja, tetapi lebih dari itu mereka juga melakukan telaah dan koreksi, kemudian menerbitkan buku-buku peniggalan islam setelah terlebih dahulu dikaji dengan cermat. Kadang-kadang mereka memberikan tambahan keterangan serta menyusun indeks abjad dan sebagainya.
Dengan cara seperti ini mereka dapat menerbitkan sejumlah buku-buku bahasa Arab, yang sekaligus buku-buku tersebut merupakan penunjang yang besar artinya bagi para peneliti bangsa Eropa atau lainnya.
d) Selain dari yang disebutkan tadi, orientalis masih mempunyai program lainnya, yaitu menerjemahkan buku-buku Arab Islam ke dalam bahasa Eropa. Mereka telah menerjeahkan syair-syair dan mu’allaqat al-Tarikh Abi al-Fida serta Tarikh al-Tabari dan Muruj al-Dhahabi oleh Ibn Mas’udi, Tarikh al-mamalik oleh al-Muqrizi, Tarikh al-Khulafa’ oleh al-Suyuti, al-Ihya dan al-Munqidh oleh al-Ghazali dan ratusan lagi kitab atau buku tentang bahasa sastra, tarikh, dan ilmu-ilmu Islam. Jumlah ini tidak termasuk buku-buku tentang kedokteran dan falak serta filsafat dan lain-lain yang telah mereka terjemahkan pada abad pertengahan.
e) Penulisan Buku
Berbagai macam aspek bahasa Arab dan Islamic Studies telah berhasil dihimpun dan dituangkan dalam tulisan-tulisan (buku) oleh para orientalis, sejak abad ke-19 M. Selama satu setengah abad, mereka telah mampu menyelesaikan tulisan sebanyak 60.000 judul buku. Tulisan-tulisan itu berkisar pada pembahasan tentang tarikh Islam, ilmu kalam, tentang syari’ah tentang tasawwuf dan filsafat Islam, juga tentang sastra Arab dan mengenai pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan Al-qur’an serta Sunnah Nabi, kemudian tentang grammatika dan Fiqh al-Lughah.
Pada buku-buku karya mereka itu ada yang memberikan manfaat bagi pembaca muslim, tetapi juga ada yang sangat halus berupaya menikam kebenaran Islam; penuh dengan kebohongan dan todak mempunyai bobot ilmiah yang berarti. Karena itu bagi pembaca muslim diharuskan dengan pandangan yang kritis ketika membaca karya-karya mereka itu.


6. Pandangan Orientalis Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an al-Karim adalah kitab suci umat islam yang menjadi dasar bagi segi kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak, karena datangnya dari ALLAH S.W.T. Karena itulah umat islam merasa perlu mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan akan selalu memperjuangkan agar ajaran-ajarannya diterapkan di muka bumi sebagai rahmatanlil’alamin.
Untuk itu para musuh islam tidak pernah bosan berupaya menjatuhkan superioritas al-Qur’an, baik dari segi kebenaran mutlak maupun sebagai sumber asalnya. Hal ini (permusuhan terhadap al-Qur’an) sudah terjadi sejak masa Nabi Saw. Yang dilakukan oleh kaum musyrikin atau penyembah berhala. Dengan semangat yang luar biasa mereka berusaha memerangi pemikiran yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah; mereka menegaskan bahwa al-Qur’an tidak lain hanyalah dusta yang mengada-ada, dan bahwasanya al-Qur’an itu adalah dongengan bohong yang Nabi meminta kepada orang lain menuliskannya siang dan malam. Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang yang minta diajari orang asing/ bukan ‘Arab; atau bahwa al-Qur’an hanyalah berisi perkataan tukang sihir dan dukun. Sasaran mereka adalah memalingkan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah wahyu samawi kepada Muhammad Saw untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.
Dalam permusuhannya terhadap al-Qur’an, kaum orientalis menempuh cara yang dilakukan oleh kaum Quraisyi Mekkah. Mereka memandang bahwa al-Qur;an bukan wahyu Allah, tetapi hanyalah tulisan atau karangan Muhammadh Saw. Mereka menggunakan dalil-dalil yang bersumber dari kaum penyembah berhala. Tetapi al-Qur’an telah membantahnya dengan tegas.
Muhammad sebagai penulis/ pengarang al-Qur’an ?
Pada muqaddimah terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggri yang terbit di London pada tahun 1763 M, George Sale menulis:
“Adapun tentang Muhammad, ia adalah penulis al-Qur’an dan pencetus utamanya, hal ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Meskipun kerjasama Muhammad dengan orang lain untuk menuliskan al-Qur’an itu dicapai, tetapi perlu diyakini bahwa kerjasama seperti itu bukanlah suatu hal mudah; ini jelas sekali karena pengikutnya membantah terhadapnya”.
George Sale adalah seorang orientalis yang menekuni Islam sampai pada tahap seakan-akan ia seorang muslim sejati. Muqaddimah yang ditulisnya tentang Muhammad sebagai pengarang atau penulis al-Qur’an meraih sukses besar di Eropa. Hal ini mendorong bagi tokoh orientalis lainnya, Kamirski, menjadikan muqaddimah itu sebagai muqaddimah dalam terjemahan makna-makna al-Qur’an ke dalam bahwa Perancis yang diterbitkan pada tahun 1841. Muqaddimah itu telah menjadi rujukan ilmiah dan andalan bagi kaum orientalis dam kurun waktu yang lama; menurut mereka isinya mencakup ajaran Islam secara utuh.
Seandainya benar bahwa Muhammad adalah penulis al-Qur’an seperti yang mereka tudingkan, mestinya mereka itu dapat mengemukakan argumentasinya, dengan menyebut- sunber-sumber yang dipakai Muhammad ketika menulis al-Qur’an. Mereka sepertinya berusaha dengan segala cara untuk menopang pendapat dan fitnahannya itu.
Richard Bell, penulis buku “Introduction to The Qur’an”, berpendapat bahwa ketika Muhammad Saw. Menulis al-Qur’an berpegang teguh kepada kitab suci, khususnya pada hal-hal yang berkaitan dengan kurun lampau(di bagian kisah-kisah), sebagai kisah siksaan (misalnya tentang kaum ‘Ad dan Thamud) bersumber dari Arab, tetapi porsi terbanyak yang dipakai Muhammad dalam menafsirkan dan menopang pengajarannya bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Kesempatannya tinggal di Madinah untuk mengenal zaman kuno lebih baik keadaannya daripada ketika tinggal di Mekkah, karena di Madinahlah ia berkenalan dengan generasi Yahudi. Dengan cara inilah Muhammad banyak menimba pengetahuan, paling tidak dari kitab-kitab Musa.
Orientalis dalam memandang al-Qur’an dari segala isi, memang tak luput dari upaya mereka untuk mencari kelamahan yang terkanudng dalam al-Qur’an, baik berkenaan dengan penulisan al-Qur’an, pembukuan maupun pembakuannya, sehingga mereka mengkritik dan bahkan menyerang secara langsung dan terang-terangan. Sekalipun misi mereka mengalami kegagalan, namun mereka terus mencoba untuk mengarahkan sasaran pada sumber pegangan primer bagi Islam, agar umat islam mengalami keraguan tehadap ayat al-Qur’an.








7. Sikap dan Usaha dalam Menghadapi Gerakan Kaum Orientalis
a) Membuat Mausu’ah (ensiklopedi) sebagai jawaban terhadap orientalis
Mmeberikan alternatif pemikiran yang seimbang adalah jalan yang terbaik untuk menghadapi segala arus pemikiran yang antipati terhadap islam dan kaum muslimin. Untuk mewujudkan ini tentunya kita harus melihat dan mengenal gerakan orientalis secara detail, dengan memeperhitungkan bahwa gerakan itu mempunyai pengaruh yang sama besarnya kepada cendikiawan/ kaum intelektual baik di dunia Islam atau pun di Barat sendiri. Oleh karena itu kita perlu mempelajarinya secara mendalam.
Mengingat bahwa Mausu’ah itu akan dialamatkan kepada kaum intelektual (tang terbawa pemikiran orientalis) menjadi keharusan penyuguhan topik-topik Islam yang diusulkan hendaknya berupa penyuguhan yang objektif dan dilandasi dengan hakikat ilmiah serta fakta sejarah logika yang benar, begitu pula halnya hendaknya dikuatkan dengan sandaran agama, pada halhal yang berkaitan dengan ilmu naqliyah yaitu dengan menggunakan metode yang diakui atau dipakai oleh kaum orientalis.
Dalam memberikan sanggahan terhadap kesalahpahaman (shubhat) dan tikaman kaum orientalis, hendaklah dibeberkan secara terperinci atau detail yang jauh dari sikap pertentangan atau menyerang, sehingga upaya ilmiah ini akan memberi pengaruh positif bagi kaum intelektual dalam semua tingkatannya, baik muslim atau bukan. Selanjutnya ia pun akan merupakan faktor pendorong bagi kaum orientalis untuk mengadakan evaluasi terhadap pernyataan-pernyataan mereka dan sekaligus akan membantu mereka meluruskan pandangan atau sikap tehadap Islam; dan akhirnya diharapkan ia sebagai pengenalan Islam bagi mereka yang simpati dan antusias terhadap Islam.
Dimaklumi bahwa kaum orientalis adakalanya tidak mengambil kesatuan sikap terhadap kasus-kasus Islam yang dihadapkan kepadanya. Tidak jarang terjadi diantara mereka sendiri ada yang menjadi pendukung dan menyanggah pendapat itu. Oleh karena itu dalam mausu’ah nanti perlu diketengahkan perbedaan pendapat tersebut (yaitu berkaitan dengan Islam dan peradabanya).
b) Membentuk lembaga ilmiah Islamiah Internasional
Guna memeberikan informasi yang imbang mengenai Islam, khususnya untuk mengimbangi pikiran-pikiran kaum orientalis yang sudah sedemikian meluas, perlu kiranya dibentuk suatu lembaga Ilmiah Islamiah Internasional yang independen, artinya tidak di bawah pengaruh atau menjadi terompet salah satu negara Islam atau dipengaruhi oleh aliran politik tertentu, pemikiran dan lain sebagainya, tetapi yang menjai wala’nya adalah Allah dan RasulNya (Muhammad Saw).
Salah satu yang menjadi tugas lembaga ini adalah menghimpun data-data Ilmiah Islamiah dari seluruh dunia, sehingga mampu mensejajarkan diri dengan gerakan orientalisme. Juga lembaga ini harus mempunyai atau menerbitkan buletin, majalah Ilmiah yang kredibilitasnya sangat tinggi dalam bahasa-bahasa yang beraneka ragam.
Edward Said dalam bukunya “Orientalism” mengungkapkan kekosongan Islam serta akibat-akibat yang ditimbulkannya :
“...Tidak didapati seorangpun penulis Arab atau Islam yang berani menyerempet-menyerempet bahaya terhadap kejahilan-kejahilan yang dimuat dalam majalah-majalah, atau terdapat dalam perguruan-perguruan tinggi dan universitas di Eropa dan Amerika. Di dunia Arab sekarang ini tidak dijumpai satupun majalah inti untuk studi-studi Arabiyah, atau tepatnya tidak ada satu lembaga pengajaran Arabiyah yang mampu menyamai Oxford, Harvard, universitas California, Los Angeles dalam studinya terhadap dunia Arab. Sebagai akibatnya ialah bahwa para masiswa atau pelajar Timur (dan tenaga pengajar dari Timur) masih tetap berantusias untuk datang ke Amerika, kemudian kembali ke negerinya, menyuarakan kembali corak pemikiran yang didapat ke telinga jumhur setempat. Cara seperti ini menbuat para peneliti Timur (hasil gemblengan Amerika) untuk merasalebih super dari bangsanya sendiri, karena ia mampu mengadakan tadabbur aturan-aturan orientalis dalam memahaminya serta menggunakannya. Adapun berkenaan dengan mereka yang lebih tinggi kedudukannya – orientalis Eropa dan Amerika- maka ia akan tetap hanya sebagai pembawa berita termasuk sebagai penduduk asli. Inilah dia peranan yang sebenarnya di Barat. Kalau ia bernasib mujur akan diberikan kesempatan baginya untuk tetap padanya (setelah selesai mengikuti latihan atau pengkaderan”

c) Sarana Internasional untuk Da’wah Islam
Salah satu proyek Islam besar lainnya yang perlu diadakan adalah lembaga Islam Internasional untuk tabshir (propaganda), yakni sebagai sarana da’wah Islam dari satu segi; juga memberi bimbingan kepada orang-orang yang baru masuk Islam; dan juga untuk memelihara kaum muslimin dengan wirathahnya.
Lebih jauh kembaga ini diharapkan dapat menerbitkan serial buku-buku tentang Islam dalam bahasa-bahasa internasional (yang hidup), yang tentunya akan meluruskan pandangan Barat terhadap Islam, dimana metode penyampaiannya haruslah menempuh metode ilmiah yang sesuai dengan pemikiran masa kini, serta dapat mengatasi way out dalam mengatasi permasalahan yang timbul di kalangan kaum muslimin dewasa ini.
d) Dialog Dengan Orientalis yang Jujur
Termasuk kegiatan penting yang harus kita lakukan adalah mengadakan kontak dan memelihara hubungan dengan kaum orientalis (yang mempunyai pandangan jujur) dengan tujuan dapat selalu mengadakan dialog atau pertemuan-pertemuan serta seminar-seminar di mana melalui sasaran-sasaran tersebut kita dapat mempertemukan ahli-ahli Islam dengan mereka (kaum orientalis).
Pertemuan (dialog) tersebut akan memberikan kesan yang positif kepada kedua belah pihak. Di segi lain ia akan merupakan tonggak penopang sikap orientalis dan penunjang bagi mereka serta pendorong terhadap sikap mereka (pandangan mereka) dengan tujuan menjadikan sikap atau pandangan-pandangan (yang jujur itu) sebagai satu arus pandangan yang umum di Barat pada waktu-waktu mendatang, yang tentu akan memberikan pengaruh positif dalam usaha memperbaiki atau meluruskan pandangan-pandangan yang keliru tentang Islam yang selama ini telah berkembang di Barat.
e) Mendirikan Badan Penerbitan Islam Internasional
Salah satu kebutuhan mendesak bagi umat Islam adalah berdirinya Badan Penerbitan Islam Internasional yang berfungsi mencetak dan menerbitkan buku-buku Islam dam semua bahasa, sehingga tidak lagi berlangsung kebiasaan dicetaknya atau diterbitkannya buku-buku Islam dalam bahasa asing (Barat) oleh penerbit-penerbit (Barat).


Zuhdi, Ahmad.2004.Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam. Karya Pembina Swajaya:Surabaya

perkembangan sosiologi

1. Revolusi Politik
Revolusi Perancis (1789) merupakan faktor utama yang mendorong lahirnya teori sosiologi. Pada masa itu muncul perdebatan antara kelompok yang merindukan “kedamaian” abad pertengahan vs kelompok yang ingin membuat tatanan baru. Tujuan keduanya sama, yaitu menegakkan tertib sosial (social order).
Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah:
• Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
• Kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan—sampai batas tertentu—kaum borjuis.
• Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan
• Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
• Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
• Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
• Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
• Kebencian terhadap intoleransi agama.
• Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.
Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut.
Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi ssementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.
Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.
Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi bahwa pemerintah akan berusaha seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya. Untuk menghindarinya, Parlement Paris, setelah kembali ke kota dengan kemenangan, mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus tidak memahami "ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal ini membangkitkan kehebohan. Estates 1614 terdiri dari jumlah wakil yang sama dari setiap kelompok dan pemberian suara dilakukan menurut urutan, yaitu Kelompok Pertama (para rohaniwan), Kelompok Kedua (para bangsawan), dan Kelompok Ketiga (lain-lain), masing-masing mendapatkan satu suara.






2. Revolusi Industri
Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.
Awal mula Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik
Faktor yang melatar belakangi terjadinya Revolusi Industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, Rene Decartes, Galileo Galilei serta adanya pengembangan riset dan penelitian dengan pendirian lembaga riset seperti The Royal Improving Knowledge, The Royal Society of England, dan The French Academy of Science. Adapula faktor dari dalam seperti ketahanan politik dalam negeri, perkembangan kegiatan wiraswasta, jajahan Inggris yang luas dan kaya akan sumber daya alam.
Efek budayanya menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian mempengaruhi seluruh dunia. Efek dari perubahan ini di masyarakat sangat besar dan seringkali dibandingkan dengan revolusi kebudayaan pada masa Neolitikum ketika pertanian mulai dilakukan dan membentuk peradaban, menggantikan kehidupan nomadik.
Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19.
Buruh anak banyak ditemukan pada masa Revolusi Industri, walaupun sebelum masa Revolusi Industri telah berkembang. Anak - anak dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil dan pendidikan yang minim. Beberapa jenis kekerasan juga terjadi di tambang batu bara dan industri tekstil. Kejadian ini terus terjadi hingga terbentuknya undang - undang pabrik Factory Acts di tahun 1833 dan 1844 yang melarang anak dibawah 9 tahun untuk bekerja, anak dilarang bekerja pada malam hari dan jam kerja 12 jam per hari untuk anak dibawah 18 tahun.
Tempat tinggal pada masa Revolusi Industri beraneka ragam dari kondisi rumah yang sangat baik dan pemilik yang makmur hingga perumahan sempit di daerah perkumuhan. Rumah kumuh ini menggunakan toilet bersama serta keadaan lingkungan yang kurang bersih. Berbagai macam penyakit juga kerap terjadi seperti wabah kolera, cacar air.
3. Kemunculan Sosialisme
Sosialisme muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai reaksi dari perubahan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri. Revolusi industri ini memang memberikan keberkahan buat para pemilik pabrik pada saat itu, tetapi di lain pihak para pekerja justru malah semakin miskin. Semakin menyebar ide sistem industri kapitalis ini, maka reaksi dalam bentuk pemikiran-pemikiran sosialis pun semakin meningkat.

Meskipun banyak pemikir sebelumnya yang juga menyampaikan ide-ide yang serupa dengan sosialisme, pemikir pertama yang mungkin dapat dijuluki sosialis adalah François Noël Babeuf yang pemikiran-pemikirannya muncul selama revolusi Prancis. Dia sangat memperjuangkan doktrin pertarungan kelas antara kaum modal dan buruh yang di kemudian hari diperjuangkan dengan lebih keras oleh Marxisme.

Para pemikir sosialis setelah Babeuf ini kemudian ternyata lebih moderat dan mereka biasanya dijuluki kaum “utopian socialists”, seperti de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Mereka lebih moderat dalam artian tidak terlalu mengedepan pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi mengedepankan kerjasama daripada kompetisi. Saint-Simon berpendapat bahwa negara yang harus mengatur produksi dan distribusi, sedangkan Fourier dan Owen lebih mempercayai bahwa yang harus berperan besar adalah komunitas kolektif kecil. Karena itu kemudian muncul perkampungan komunitas (communistic settlements) yang didirikan berdasarkan konsep yang terakhir ini di beberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat, seperti New Harmony (Indiana) dan Brook Farm (Massachussets).
Setelah kaum utopian ini, kemudian muncul para pemikir yang ide-idenya lebih ke arah politik, misalnya Louis Blanc. Blanc sendiri kemudian menjadi anggota pemerintahan provisional Prancis di tahun 1848. Sebaliknya juga muncul para anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon dan radikalis (insurrectionist) Auhuste Blanqui yang juga sangat berpengaruh di antara kaum sosialis di awal dan pertengahan abad ke-19.

Pada tahun 1840-an, istilah komunisme mulai muncul untuk menyebut sayap kiri yang militan dari faham sosialisme. Istilah ini biasanya dirujukkan kepada tulisan Etiene Cabet dengan teori-teorinya tentang kepemilikan umum. Istilah ini kemudian digunakan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menggambarkan pergerakan yang membela perjuangan kelas dan mengaruskan revolusi untuk menciptakan sebuah masyarakat kerjasama (society of cooperation). Karl Marx adalah anak dari pasangan Hirschel and Henrietta Marx. Ia lahir di Trier, Germany, tahun 1818.

Penggunaan kata sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda oleh berbagai kelompok, namun hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 dan ke-20, yang berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian, yang dengan sistem ekonomi, menurut mereka, dapat melayani masyarakat banyak, ketimbang hanya segelintir elite. Menurut penganut Marxisme model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia, sebagai sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.

Sosialisme merupakan sebagai sebuah ideologi. Karena ia memiliki ide dasar sekaligus metode pemecahan terhadap berbagai masalah kehidupan. Secara historis, gagasan sosialisme -include komunisme- merupakan antitesis dari kekuatan hegemonik di Eropa era aufklarung. Dalam Manifesto Communist, Marx mencita-citakan masyarakat tanpa kelas. Teori Dialektika materialisme menjadi metode baku yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dialektika materialisme merupakan cara pandang peristiwa alam yang bersifat dialogue, yaitu metode pembahasan dan penelitian yang membongkar kontradiksi pemikiran dan benturan antar berbagai pandangan melalui diskusi atau dialog. Disamping karena argumentasi dan pandangannya terhadap berbagai peristiwa alam ini bersifat materi. Cara pandang seperti ini juga diimplementasikan dalam pembahasan tentang kehidupan masyarakat berikut berbagai kasus yang terjadi di dalamnya.

Teori Marx telah memberikan inspirasi besar bagi orang-orang kritis waktu itu. Puncaknya, Vladimir Illich Ulyanov (Lenin) mendirikan negara Komunis pertama -Uni Soviet- dengan sebuah revolusi berdarah menggulingkan kekuasaan Tsar. Sebagai ideolog komunis terkemuka, Lenin telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan komunis dengan tangan besinya. Semangat perlawanan ala Lenin juga diikuti oleh rezim-rezim komunis lainnya. Jutaan nyawa harus meregang akibat pemerintahan otoriter yang dipraktekkan oleh mereka. Amartya Sen dalam The Black Book of Communism memperkirakan jumlah orang yang tewas akibat sosialisme-komunisme mencapai angka 100 juta (Chomsky, 2003). Cita-cita sosialisme -menghapus penindasan kapitalisme- ternyata diganti dengan penindasan ala komunis yang tidak kalah mengerikan. Sentralisasi kekuasaan yang absolut melahirkan slogan “negara adalah saya”. Dalam perkembangannya, bermunculanlah berbagai varian pemikiran dari ideologi sosialisme ini.
4. Fenimisme
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Sejarah feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment , di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Istilah feminis kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar (mis: membakar bra). Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan/diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis. Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidak adilan/diskriminasi, serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut . Apakah ada agenda pemberdayaan perempuantermasuk dalam gerakan feminisme radikal? A.2. Feminis Radikal Analisa mengenai akar diskriminasi terhadap perempuan menimbulkan berbagai aliran para feminis itu sendiri, yang dikenal dengan sebuat feminisme. Salah satu aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut: 1. Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya. 2. Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi. 3.Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan. Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal. Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan atau diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis . Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidak adilan atau diskriminasi, serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut.
5. Urbanisme
Urbanisasi yang merupakan konsekuensi logis dari Revolusi Industri, banyak melahirkan masalah: kesumpekan, polusi, kebisingan, kemacetan, dsb. Tokoh yang banyak mengkaji masalah ini adalah MAX WEBER, GEORG SIMMEL, THE CHICAGO SCHOOL.

6. Pertumbuhan Sain
Sebagai sebuah sistem pengetahuan, sains moderen memperoleh momentum yang tepat di awal abad ke-16 yang umumnya di Eropa dikenal sebagai era Revolusi Sains. Didukung oleh filsafat Kantian yang mengalihkan metafisika menjadi sains semata, sains moderen memperoleh posisi yang mapan di tiga bidang, yaitu logika, matematika dan metode empiris. Pada dasarnya sains moderen mengkontruksikan alam sebagai "mesin besar", yaitu sistem yang merupakan kesatuan dari bagian atau elemen- elemen yang masing-masing memiliki fungsi dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah mekanisme umum. Semua fenomena di alam mematuhi hukum yang meliputi keseluruhan sistem, dan hukum-hukum ini tunduk pada ketentuan matematika. Meskipun demikian matematika tidak ditentukan oleh sains moderen. Namun utilitas matematika dalam observasi alam berkembang di era sains moderen (Cohen, 1994).


Lebih dari tiga ratus tahun, secara menakjubkan sains moderen terlibat dalam kekuasaan sistem pengetahuan yang memprediksi dan mengontrol alam lewat aplikasi pengetahuan-pengetahuan sains dalam artefak teknologi. Perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya atas sains moderen ini telah merangsang munculnya disiplin ilmu sosial yang telah mengambil institusi sains sebagai subjek pokok dalam analisis sosiologi. Sejak periode perang hingga tahun 1970-an, Robert Merton merupakan tokoh yang paling banyak menghasilkan karya di bidang ini. Berdasarkan asumsi bahwa pertumbuhan sains terjadi dalam masyarakat tertentu dengan substansi dan konsistensinya, dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Science, Merton mengidentifikasikan empat norma yang menjadi etika sains moderen (Merton, 1973). Empat norma tersebut adalah :


(1) Universalisme: klaim kebenaran seharusnya berdasar atas pendirian, kriteria justifikasi personal yang melarang konsiderasi kriteria partikular seperti perlombaan ilmiah, nasionalitas atau agama;

(2) Komunalisme: pendiri pewarisan umum atas konstitusi sains untuk dibagi pada seluruh komunitas dengan pengenalan dan penghargaan pada hak milik ilmuan;

(3) Ketidakpedulian: ilmuan harus fokus pada pekerjaan mereka dengan cermat untuk menjadi ahli dan kehadiran mereka terbatas pada melayani pelanggan;

(4) Timbulnya skeptisme: ilmuan seharusnya bergabung dalam "meneliti keyakinan dengan kriteria pernyataan empirik dan logis" yang bebas dari pengaruh institusi luar seperti agama.

Meskipun Ilmu Sosiologi Merton ini menerima banyak kritik dari sosiologi sains baru, Mertonian tetap mendefinisikan norma sebagai aspek-aspek ideologi sains yang lebih merupakan kesimpulan yang didasarkan atas studi empiris ilmu pengetahuan praktis (Restivo, 1994:7). Salah satu kritikan ini dapat ditemui dalam catatan Timothy Lenoir (1997) yang mengkritik hasil disiplin ilmu pengetahun kultural. Kritikan ini disampaikan melalui sebuah pesan penolakan yang tegas terhadap pemikiran Robert Merton yang mengungkapkan ketidakpedulian sains dan pemikiran Joseph Ben-David dengan otonomi sainsnya.

Menurut Lenoir (1997:5) program Merton dan Ben-David dilandasi oleh dua asumsi penting, yaitu :


1.Realisme, yaitu paham bahwa kita sebagai habitat yg hidup di dunia nyata merupakan objek dengan sifat bawaan proses, berkorelasi dengan paham bahwa kebenaran teori sains terkait dengan dunia.


2.Objektivitas, yaitu paham yang mengakui keberadaan fakta objektif tentang dunia yang tidak tergantung pada interpretasi bahkan kehadiran seseorang.


Alasan lenoir tidak menerima asumsi-asumsi tersebut adalah karena sains selalu bersifat situasional, lokal dan parsial. Pertimbangan ini didasarkan pada fakta bahwa sains adalah suatu bentukinterpretasi dimana objek sains dan penginterpretasinya tidak salingbebas. Karena hubungan antara sains dan dunia merupakan rangkaian penafsiran, Lenoir berargumen bahwa sains perlu dikemas secara menarik. Dalam penjelasannya Lenoir juga mengajak kita untuk melihat hasil sains sebagai praktek kultural yang melibatkan kesadaran dan faktor sosial, yang mana satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Para pelaku yang ada dibalik produk ilmu pengetahuan berkecimpung di kedua faktor tersebut, yaitu kesadaran dan faktor sosial. Dengan kesadaran mereka menginterpretasikan objek-objek ilmu pengetahuan lewat proses penafsiran. Dan jika dilihat dari sisi sosial, hasil ilmu pengetahuan ada di sekitar manusia karena berkaitan dengan kecenderungan sosial dan ekonomi. Lebih jauh Lenoir menyarankan bahwa kontruksi pengetahuan alam secara simultan dijadikan kerangka usaha untuk mendefinisikan masyarakat dan melegitimasi pandangan diri sendiri atas kenyataan sosial dimanapun seseorang berada (1997 : CH.1).


Pemikiran Lenoir atas hasil ilmu pengetahuan dari praktek kultural mencerminkan bahwa kultur mempengaruhi kontruksi sistem ilmu pengetahuan. Dalam pandangan antropologi, usaha manusia untuk bertahan hidup mengarah pada kontruksi ilmu pengetahuan yang secara
akumulatif masyarakat merangkainya untuk mengenal keteraturan alam. Dan sebagai bagian dari setiap kultur yang terbentuk oleh relasi antar kultur dan alam sekitar, sistem ilmu pengetahuan tampak berbeda dari budaya-budaya lain.


Berdasarkan penggunaan kultur sebagai alat untuk mempelajari sains, Sandra Harding (1998 : 62-70) mengidentifikasikan empat macam elemen kultural yang membentuk inti kesadaran atas setiap sistematisasi ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Empat macam elemen kultural itu adalah :


1.Alam adalah sebuah ketidakteraturan. Oleh sebab itu perbedaan regularitas alam yang mengarah pada lokasi kultur yang berbeda menghasilkan perbedaan ilmu pengetahuan.

2.Minat masyarakat pada setiap kultur berbeda. Kenyataan ini mengarah pada perbedaan pola ilmu pengetahuan yang juga menyebabkan ketidakpedulian pada masing-masing kultur.

3.Secara kultural, wilayah budaya yang tidak berhubungan dengan sumber proses sains adalah salah satu elemen budaya yang menafsirkan kerangka konseptual untuk mendeskripsikan dan menjelaskan keteraturan alam. Hal ini mengimplikasikan bahwa di alam ini cara manusia melihat dan mengintervensi sesuatu terbentuk oleh keunikan kultur dari sistem sains.

4.Kandungan sistem ilmu pengetahuan terbentuk oleh organisasi sosial yang menangani penelitian ilmiah yang secara kultural berbeda.


Catatan Harding tentang adanya kemungkinan budaya dalam membentuk sistem ilmu pengetahuan secara jelas memberi kesan bahwa sains terbentuk secara kultural. Hal ini mengarah pada konsekuensi logis bahwa diskursus pengetahuan tidak dapat dan tidak akan objektif bila dinilai dari konteks kebudayaan tempat sistem ilmu pengetahuan itu
berasal. Studi yang dilakukan oleh Pamela Asquith atas primatologi dua budaya sesuai dengan catatan Harding. Dalam studinya Asquith membandingkan kebudayaan dengan yayasan intelektual antara primatologi Jepang dan primatologi Eropa-Amerika. Betapa Asquith melihat heterogenitas sains tidak hanya menampilkan ekspresi yang berbeda dalam penemuan sains, tapi juga dalam perbedaan wawasan, pertanyaan dan metoda baru penelitian. Beberapa hal yang kemudian menjadikan studi Asquith ini menarik adalah dugaannya terhadap perbedaan keyakinan agama yang meyakini bahwa kehadiran manusia di
alam telah melahirkan ilmu pengetahuan hasil penelitian para ahli primatologi Jepang dan barat. Pandangan Kristiani yang meyakini bahwa hanya manusialah yang memiliki jiwa atau akal telah menghalangi sebagian besar peneliti barat untuk menemukan hubungan kualitas
mental dengan perilaku sosial primata yang kompleks selain manusia. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang atribut yang berupa motivasi, perasaan dan kepribadian serta tingkah laku hewan adalah penting. Hal ini termotivasi oleh keyakinan eksistensi jiwa dalam hewan. Hasil
yang didapat adalah perbedaan yang mengarah pada berbagai macam metodologi dimana pendekatan masyarakat Jepang yang lebih bersifat sosiologis dan antropologis jika dibandingkan dengan pendekatan primatologi barat yang lebih psikologis. Keadaan akhir yang ada adalah kedua kelompok tersebut ( primatologi Jepang dan Barat ) menghasilkan perbedaan analisis yang mana laporan dari masyarakat Jepang terhadap sejarah kehidupan hewan lebih personal dan detail ( dilakukan per individu ) sehingga mampu melihat lebih mendalam perilaku primate beserta perkiraan penyebabnya ( Asquith, 1996 ).

Studi serupa yang dilakukan pada sains dengan dua budaya dikemukakan juga oleh Sharon Traweek ( 1992 ) dalam ilmu fisika. Tetapi bagaimanapun juga studi jangka panjang Traweek yang membandingkan fisika energi tinggi di Amerika dan Jepang sedikit berbeda dalam agenda pembahasan ini. Sementara Asquith terfokus pada pengaruh budaya atas sistem ilmu pengetahuan, Traweek lebih menekankan studinya pada cara merepresentasikan nilai budaya dalam model organisasi penelitian. Jadi tidaklah mengherankan bahwa Traweek
mengindikasikan nilai-nilai individualisme dalam kompetisi. Kemudian hal ini tertanam kuat dalam organisasi penelitian fisika energi tinggi di Amerika. Sementara itu di Jepang penelitian fisika energi tinggi bersandar pada nilai-nilai komunal dan kerjasama. Perbedaan nilai budaya ini tercermin dalam berbagai hal yang mencakup proses belajar-mengajar, sistem kerja kelompok-kelompok organisasi dalaboratorium, gaya kepemimpinan, proses pengambilan keputusan, warisan dan perspektif sejarah ( Traweek, 1992:Ch.5 ). Meski Traweek tidak menjelaskan bahwa perbedaan nilai-nilai kebudayaan akan menghasilkan perbedaan pengetahuan atau tidak, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Harding, studi Traweek secara meyakinkan mampu menunjukkan bahwa nilai-nilai kebudayaan telah membentuk sebuah organisasi dari komunitas sains.


Asquith dan Traweek telah menggambarkan secara gamblang jalinan budaya dan sistem ilmu pengetahuan. Namun kita masih memerlukan bagian lain untuk melengkapi gambaran yang telah diberikan : bagian yang dapat melintasi disiplin ilmu dan masuk ke dalam catatan praktek lingkungan kebudayaan dari sains moderen. Diharapkan hal ini akan memperluas pemahaman kita bahwa sains moderen tidak berdiri sendiri seperti yang dituduhkan selama ini. Pada akhirnya sebuah studi komperatif yang unik atas sains moderen dilakukan oleh Karin Knorr- Cetina. Fokus studi ini adalah hubungan antara ilmu pengetahuan dan budaya merupakan hal yang relevan karena membuka fragmentasi dan keanekaragaman sains. Dalam studinya, Knorr-Cetina berusaha menempatkan awal pecahnya ilmu pengetahuan dalam sebuah media penelitian lewat sebuah observasi aktifitas masyarakat terhadap fisika energi tinggi di satu sisi dan dasar kerja individual biologi molekular di sisi lainnya. Belajar dari berbagai laboratorium fisika energi tinggi dan biologi molekular di Eropa dan Amerika Utara, Knorr- Cetina bermaksud untuk membongkar struktur simbolik dari kedua bidang tersebut yang saat ini telah menjadi acuan pandangan lewat definisi kesatuan (entities), klasifikasi sistem dan cara memahami strategi epistemik, prosedur empiris dan strategi sosial. Langkah ini menghasilkan anggapan yang berasal dari proses penandaan dan eksperimen. Kedua hal tersebut berhubungan dengan waktu dan jasad. Dengan segala kelengkapan yang tampak berbeda secara budaya, praktek fisika energi tinggi dan biologi molekular terpolarisasi dalam kerangka konteks berfikir untuk membentuk ilmu pengetahuan. Point penting dalam penemuan ini adalah eksistensi epistemik budaya dalam dua contoh kasus terhadap hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat, seperti yang telah digarisbawahi oleh Knorr-Cetina," studi atas penempatan ilmu pengetahuan menjadi tujuan dalam usaha memahami tipe masyarakat yang menjadi pelaku penerapan sains dan keahlian selain sains dan keahlian itu sendiri"(Knorr-Cetina, 1998:8).





Sumber
www.wikipedia.com
http://groups.yahoo.com/group/insistnet/
http://id.shvoong.com/tags/feminisme
http://gurumuda.com/bse/

zona subduksi indonesia

Dalam geologi , subduksi adalah proses yang terjadi pada batas konvergen di mana satu lempeng tektonik bergerak di bawah lempeng tektonik lain, tenggelam ke mantel Bumi , sebagai berkumpul piring. Sebuah zona subduksi adalah area di bumi di mana dua lempeng tektonik bergerak ke arah satu sama lain dan subduksi terjadi. Zona subduksi terjadi ketika lempeng samudra bertabrakan dengan lempeng benua, dan menelusup ke bawah lempeng benua tersebut ke dalam astenosfer. Lempeng litosfer samudra mengalami subduksi karena memiliki densitas yang lebih tinggi. Lempeng ini kemudian mencair dan menjadi magma. Tingkat subduksi biasanya diukur dalam sentimeter per tahun, dengan rata-rata konvergensi yang kira-kira 2 sampai 8 cm per tahun (sekitar tingkat kuku tumbuh) .
Penjelasan mengenai kerak benua dan kerak samudra:
a) Kerak benua mempunyai lapisan lebih tebal dibandingkan kerak samudra. Lapisan atas pada kerak ini adalah berupa batuan granit, sedangkan lapisan dibawahnya berupa batuan basalt yang lebih rapat. Lapisan-lapisan ini menurut peristiwa geologi terbentuk pada berbagai zaman melalui berbagai macam proses. Batuan yang paling tua ditemukan pada perisai prokambium. Batuan yang lebih muda terbentuk selama zaman-zaman pembentukan gunung.
b) Kerak samudra merupakan sedimen yang mempunyai ketebalan 800 meter. Kerak samudra yang dibentuk letusan gunung api sepanjang celah-celah bawah laut disebut pematang tengah samudra. Umurnya kurang dari 200 juta tahun. Secara geologis lebih muda dibandingkan dengan kerak benua yang berumur 3,8 miliar tahun.
Zona subduksi melibatkan lempeng samudera geser di bawah baik pelat kontinental atau lain lempeng samudera (yaitu, lempeng subduksi selalu samudera sedangkan Lempeng subduksi mungkin atau mungkin tidak kelautan). zona subduksi sering dicatat untuk suku mereka yang tinggi vulkanisme , gempa bumi , dan bangunan gunung . Hal ini karena proses subduksi mengakibatkan meleleh dari mantel yang menghasilkan busur vulkanik sebagai batuan yang relatif ringan secara paksa terendam.

Pada gambar diatas dapat diketahui bahwa arus konveksi dari bagian mantel telah mendorong lempeng samudra secara vertikal sehingga lempeng samudra melengkung ke atas dan bagian puncaknya patah. Pada lokasi itu, kemudian terbentuk pegunungan bawah laut atau punggung bawah laut (mid oceanic ridge). Bagian puncak yang patah disusupi magma dari bawah sehingga membentuk jalur gunung api bawah laut. Beberapa jalur gunung api bawah laut itu makin lama makin bertambah tinggi dan puncaknya menyembul diatas permukaan laut sehingga membentuk pulau-pulau gunung api.
Lempeng samudra yang patah, mengikuti arus konveksi, yaitu sebagian bergeser ke kiri dan sebagian bergeser ke kanan. Lempeng samudra yang bergeser tersebut akhirnya menumbuk lempeng benua dan menunjam ke bawah yang membentuk zona subduksi. Karena menunjam ke bawah, lempeng samudera yang semula padat dan keras menjadi luluh atau lebur, sebab semakin masuk ke dalam bumi suhunya semakin tinggi. Lempeng samudra yang luluh tersebut berubah menjadi dua bentuk, yaitu massa cair dan gas yang menjadi sumber tenaga.
Di daerah subduksi, makin lama jumlah luluhan lempeng samudra makin bertambah banyak sehingga terkumpullah massa cair dalam jumlah yang besar dan juga tertumpuk energi yang makin lama makin besar dan kuat. Tumpukan energi yang besar itu akhirnya akan mampu melepaskan diri dengan menjebol lapisan kulit bumi diatasnya. Akibat desakan arus konveksi ke atas mengakibatkan kulit bumi retak dan membelah (divergensi). Kemudian, masing-masing belahan bergeser ke kiri dan ke kanan secara horizontal tersebut bertumbukan dengan pecahan kerak bumi lainnya.


Pada zona konvergensi ini, lempeng samudra (yang lebih berat) akan menyulap ke dalam (subduksi) akan terangkat ke atas (overridge), melengkung, dan terpatah-patah (dislokasi), gerakan yang timbul pada saat itu disebut gempa dislokasi atau gempa tektonik
Zona subduksi menandai situs konvektif downwelling dari bumi litosfer (yang kerak rapuh ditambah bagian atas mantel atas). zona subduksi ada di batas lempeng konvergen di mana satu piring dari litosfer samudera menyatu dengan plat lain. Turun-akan slab - tepi terkemuka dari subduksi lempeng-dikalahkan oleh mutakhir dari pelat lain. Slab tenggelam pada sudut sekitar 25 sampai 45 derajat ke permukaan bumi. Pada kedalaman sekitar 80-120 km, basal pelat samudra dikonversi menjadi batu metamorf disebut eclogite . Pada titik ini, kepadatan meningkat litosfer samudra dan dilakukan ke dalam mantel oleh arus konvektif downwelling. Hal ini pada zona subduksi bahwa bumi lithosfer, kerak samudera , sedimen lapisan, dan beberapa terjebak air didaur ulang ke dalam mantel. Bumi adalah satu-satunya planet di mana subduksi diketahui terjadi. Tanpa subduksi, lempeng tektonik tidak bisa eksis.
Subsidi sendimen biasanya kaya hydrous mineral dan tanah liat. Selama transisi dari basal ke eclogite, bahan-bahan hydrous rusak, memproduksi jumlah berlebihan dari air, yang padakanan yang begitu besar dan suhu ada sebagai fluida superkritis . Air superkritis, yang panas dan lebih ringan dibandingkan dengan batuan sekitarnya, naik ke atasnya mantel mana menurunkan tekanan dalam (dan dengan demikian suhu leleh) batuan mantel ke titik lebur yang sebenarnya, menghasilkan magma. Magma ini, pada gilirannya, meningkat, karena mereka kurang padat dari batuan mantel. Mantel magma ini yang diturunkan (yang basaltik dalam komposisi) dapat terus meningkat, akhirnya ke permukaan bumi, mengakibatkan letusan gunung berapi. Dari lava meletus tergantung pada sejauh mana yang diturunkan basalt mantel (a) berinteraksi dengan (mencair) kerak bumi dan / atau (b) mengalami kristalisasi fraksional.
Diatas zona subduksi, gunung berapi yang ada di rantai panjang disebut busur vulkanik . Gunung api yang ada di sepanjang busur cenderung menghasilkan letusan berbahaya karena mereka kaya dalam air (dari pelat dan sedimen) dan cenderung menjadi sangat eksplosif. Krakatau, Nevado del Ruiz, dan Gunung Vesuvius merupakan contoh gunung berapi busur. Busur juga diketahui terkait dengan logam mulia seperti emas, perak dan tembaga - lagi diyakini dibawa oleh air dan terkonsentrasi di sekitar gunung berapi tuan rumah mereka di batu disebut "bijih".
Panas dari inti bumi yang disampaikan kepada mantel menyebabkan mantel untuk convect banyak cara yang mendidih convects air dalam panci di atas kompor. Mantel di batas inti-naik sementara tenggelam mantel mantel dingin, menyebabkan sel konveksi terbentuk. Pada titik di mana dua ke bawah bergerak convecting sel bertemu (dingin mantel sinking), konveksi dapat terjadi, memaksa kerak samudera di bawah ini baik benua atau kerak samudera lainnya. kerak Continental cenderung untuk mengesampingkan kerak samudera karena terdiri dari granit padat kurang dibandingkan dengan basalt dari kerak samudera.
Zona subduksi adalah penting karena beberapa alasan:
1. Zona subduksi Fisika: Penenggelaman litosfer mantel adalah kekuatan terkuat (tetapi bukan satu-satunya) yang diperlukan untuk mendorong gerakan piring dan modus dominan konveksi mantel .
2. Zona subduksi Kimia: The subduksi pelat dingin tenggelam di zona subduksi rilis air ke dalam mantel atasnya, menyebabkan mantel leleh dan fraksionasi unsur antara permukaan dan waduk mantel dalam, menghasilkan busur pulau dan kerak benua .
3. Subduksi zona subduksi campuran sedimen, kerak samudera, dan mantel litosfer dengan mantel dari pelat utama untuk menghasilkan cairan, calc-alkaline series mencair, deposito bijih, dan kerak benua.
Zona subduksi juga telah dianggap sebagai mungkin lokasi pembuangan untuk limbah nuklir, di mana tindakan itu akan membawa bahan ke dalam planet mantel , aman jauh dari kemungkinan pengaruh terhadap kemanusiaan atau lingkungan permukaan, tetapi metode pembuangan saat ini dilarang oleh kesepakatan internasional .

Di Indonesia terlihat di sepanjang pesisir barat Sumatra, selatan Jawa sampe ke Laut Banda. Lempeng samudra dan benua yang dimaksud adalah Lempeng Australia yg menunjam ke bawah Lempeng Eurasia (Eropa dan Asia, di mana Indonesia bagian barat termasuk di dalam-nya). Pada gambar diatas, subduction zone ditandai dengan simbol segitiga. Segitiga yang "menghadap" ke arah Indonesia maksudnya adalah menggambarkan Lempeng Australia yang masuk menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Bisa di-liat bahwa pesisir barat Sumatra, selatan Jawa sampe ke Laut Banda adalah jalur subduction. Artinya sepanjang daerah itu adalah daerah rawan gempa.
Keterkaitan subduction zona dengan gempa yaitu jalur gempa di dunia (atau istilah-nya adalah benioff zone) akan mengikuti jalur subduction karena memang gempa adalah salah satu produk dari jalur tersebut selain jalur gunung api dan juga semua hasil tambang bumi jadi kesimpulan umum dari subduction zone tadi adalah bukan hanya menghasilkan gempa tetapi juga bisa memberikan fenomena alam yang menakjubkan dan kekayaan hasil bumi yg menguntungkan secara ekonomi.
Lempeng samudra yang menunjam tadi akan bergesekan dengan lempeng benua. Selama dia menunjam, dua lempeng ini mempunyai daya elastic. Pada saat daya elastis-nya sudah melewati batas, maka dia akan melepaskan energi berupa gempa. Jika dianalogikan dengan penggaris adalah ketika si penggaris tadi sudah tidak bisa mempertahankan kelengkungannya dan patah.


Gambar penampang dari subduction zone terletak di samping kiri . Trench adalah palung, titik pertemuan lempeng samudra dan lempeng benua, magma generation terbentuk karena suhu dan tekanan tinggi akibat gesekan dua lempeng ini yang akhirnya membuat batuan di kedalaman itu meleleh dan karena suhu tekanan tinggi pula magma ini berusaha naik ke atas permukaan bumi melalui gunung api.