statistik

Sabtu, 05 Februari 2011

perkembangan sosiologi

1. Revolusi Politik
Revolusi Perancis (1789) merupakan faktor utama yang mendorong lahirnya teori sosiologi. Pada masa itu muncul perdebatan antara kelompok yang merindukan “kedamaian” abad pertengahan vs kelompok yang ingin membuat tatanan baru. Tujuan keduanya sama, yaitu menegakkan tertib sosial (social order).
Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.
Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah:
• Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
• Kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan—sampai batas tertentu—kaum borjuis.
• Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan
• Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
• Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
• Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
• Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
• Kebencian terhadap intoleransi agama.
• Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.
Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut.
Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi ssementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.
Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.
Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi bahwa pemerintah akan berusaha seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya. Untuk menghindarinya, Parlement Paris, setelah kembali ke kota dengan kemenangan, mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus tidak memahami "ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal ini membangkitkan kehebohan. Estates 1614 terdiri dari jumlah wakil yang sama dari setiap kelompok dan pemberian suara dilakukan menurut urutan, yaitu Kelompok Pertama (para rohaniwan), Kelompok Kedua (para bangsawan), dan Kelompok Ketiga (lain-lain), masing-masing mendapatkan satu suara.






2. Revolusi Industri
Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.
Awal mula Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik
Faktor yang melatar belakangi terjadinya Revolusi Industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, Rene Decartes, Galileo Galilei serta adanya pengembangan riset dan penelitian dengan pendirian lembaga riset seperti The Royal Improving Knowledge, The Royal Society of England, dan The French Academy of Science. Adapula faktor dari dalam seperti ketahanan politik dalam negeri, perkembangan kegiatan wiraswasta, jajahan Inggris yang luas dan kaya akan sumber daya alam.
Efek budayanya menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian mempengaruhi seluruh dunia. Efek dari perubahan ini di masyarakat sangat besar dan seringkali dibandingkan dengan revolusi kebudayaan pada masa Neolitikum ketika pertanian mulai dilakukan dan membentuk peradaban, menggantikan kehidupan nomadik.
Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19.
Buruh anak banyak ditemukan pada masa Revolusi Industri, walaupun sebelum masa Revolusi Industri telah berkembang. Anak - anak dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil dan pendidikan yang minim. Beberapa jenis kekerasan juga terjadi di tambang batu bara dan industri tekstil. Kejadian ini terus terjadi hingga terbentuknya undang - undang pabrik Factory Acts di tahun 1833 dan 1844 yang melarang anak dibawah 9 tahun untuk bekerja, anak dilarang bekerja pada malam hari dan jam kerja 12 jam per hari untuk anak dibawah 18 tahun.
Tempat tinggal pada masa Revolusi Industri beraneka ragam dari kondisi rumah yang sangat baik dan pemilik yang makmur hingga perumahan sempit di daerah perkumuhan. Rumah kumuh ini menggunakan toilet bersama serta keadaan lingkungan yang kurang bersih. Berbagai macam penyakit juga kerap terjadi seperti wabah kolera, cacar air.
3. Kemunculan Sosialisme
Sosialisme muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai reaksi dari perubahan ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri. Revolusi industri ini memang memberikan keberkahan buat para pemilik pabrik pada saat itu, tetapi di lain pihak para pekerja justru malah semakin miskin. Semakin menyebar ide sistem industri kapitalis ini, maka reaksi dalam bentuk pemikiran-pemikiran sosialis pun semakin meningkat.

Meskipun banyak pemikir sebelumnya yang juga menyampaikan ide-ide yang serupa dengan sosialisme, pemikir pertama yang mungkin dapat dijuluki sosialis adalah François Noël Babeuf yang pemikiran-pemikirannya muncul selama revolusi Prancis. Dia sangat memperjuangkan doktrin pertarungan kelas antara kaum modal dan buruh yang di kemudian hari diperjuangkan dengan lebih keras oleh Marxisme.

Para pemikir sosialis setelah Babeuf ini kemudian ternyata lebih moderat dan mereka biasanya dijuluki kaum “utopian socialists”, seperti de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Mereka lebih moderat dalam artian tidak terlalu mengedepan pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi mengedepankan kerjasama daripada kompetisi. Saint-Simon berpendapat bahwa negara yang harus mengatur produksi dan distribusi, sedangkan Fourier dan Owen lebih mempercayai bahwa yang harus berperan besar adalah komunitas kolektif kecil. Karena itu kemudian muncul perkampungan komunitas (communistic settlements) yang didirikan berdasarkan konsep yang terakhir ini di beberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat, seperti New Harmony (Indiana) dan Brook Farm (Massachussets).
Setelah kaum utopian ini, kemudian muncul para pemikir yang ide-idenya lebih ke arah politik, misalnya Louis Blanc. Blanc sendiri kemudian menjadi anggota pemerintahan provisional Prancis di tahun 1848. Sebaliknya juga muncul para anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon dan radikalis (insurrectionist) Auhuste Blanqui yang juga sangat berpengaruh di antara kaum sosialis di awal dan pertengahan abad ke-19.

Pada tahun 1840-an, istilah komunisme mulai muncul untuk menyebut sayap kiri yang militan dari faham sosialisme. Istilah ini biasanya dirujukkan kepada tulisan Etiene Cabet dengan teori-teorinya tentang kepemilikan umum. Istilah ini kemudian digunakan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menggambarkan pergerakan yang membela perjuangan kelas dan mengaruskan revolusi untuk menciptakan sebuah masyarakat kerjasama (society of cooperation). Karl Marx adalah anak dari pasangan Hirschel and Henrietta Marx. Ia lahir di Trier, Germany, tahun 1818.

Penggunaan kata sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda oleh berbagai kelompok, namun hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 dan ke-20, yang berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian, yang dengan sistem ekonomi, menurut mereka, dapat melayani masyarakat banyak, ketimbang hanya segelintir elite. Menurut penganut Marxisme model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia, sebagai sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.

Sosialisme merupakan sebagai sebuah ideologi. Karena ia memiliki ide dasar sekaligus metode pemecahan terhadap berbagai masalah kehidupan. Secara historis, gagasan sosialisme -include komunisme- merupakan antitesis dari kekuatan hegemonik di Eropa era aufklarung. Dalam Manifesto Communist, Marx mencita-citakan masyarakat tanpa kelas. Teori Dialektika materialisme menjadi metode baku yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dialektika materialisme merupakan cara pandang peristiwa alam yang bersifat dialogue, yaitu metode pembahasan dan penelitian yang membongkar kontradiksi pemikiran dan benturan antar berbagai pandangan melalui diskusi atau dialog. Disamping karena argumentasi dan pandangannya terhadap berbagai peristiwa alam ini bersifat materi. Cara pandang seperti ini juga diimplementasikan dalam pembahasan tentang kehidupan masyarakat berikut berbagai kasus yang terjadi di dalamnya.

Teori Marx telah memberikan inspirasi besar bagi orang-orang kritis waktu itu. Puncaknya, Vladimir Illich Ulyanov (Lenin) mendirikan negara Komunis pertama -Uni Soviet- dengan sebuah revolusi berdarah menggulingkan kekuasaan Tsar. Sebagai ideolog komunis terkemuka, Lenin telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan komunis dengan tangan besinya. Semangat perlawanan ala Lenin juga diikuti oleh rezim-rezim komunis lainnya. Jutaan nyawa harus meregang akibat pemerintahan otoriter yang dipraktekkan oleh mereka. Amartya Sen dalam The Black Book of Communism memperkirakan jumlah orang yang tewas akibat sosialisme-komunisme mencapai angka 100 juta (Chomsky, 2003). Cita-cita sosialisme -menghapus penindasan kapitalisme- ternyata diganti dengan penindasan ala komunis yang tidak kalah mengerikan. Sentralisasi kekuasaan yang absolut melahirkan slogan “negara adalah saya”. Dalam perkembangannya, bermunculanlah berbagai varian pemikiran dari ideologi sosialisme ini.
4. Fenimisme
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan. Sejarah feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment , di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Istilah feminis kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar (mis: membakar bra). Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan/diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis. Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidak adilan/diskriminasi, serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut . Apakah ada agenda pemberdayaan perempuantermasuk dalam gerakan feminisme radikal? A.2. Feminis Radikal Analisa mengenai akar diskriminasi terhadap perempuan menimbulkan berbagai aliran para feminis itu sendiri, yang dikenal dengan sebuat feminisme. Salah satu aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut: 1. Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya. 2. Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi. 3.Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan. Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal. Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidak adilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidak adilan atau diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis . Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidak adilan atau diskriminasi, serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut.
5. Urbanisme
Urbanisasi yang merupakan konsekuensi logis dari Revolusi Industri, banyak melahirkan masalah: kesumpekan, polusi, kebisingan, kemacetan, dsb. Tokoh yang banyak mengkaji masalah ini adalah MAX WEBER, GEORG SIMMEL, THE CHICAGO SCHOOL.

6. Pertumbuhan Sain
Sebagai sebuah sistem pengetahuan, sains moderen memperoleh momentum yang tepat di awal abad ke-16 yang umumnya di Eropa dikenal sebagai era Revolusi Sains. Didukung oleh filsafat Kantian yang mengalihkan metafisika menjadi sains semata, sains moderen memperoleh posisi yang mapan di tiga bidang, yaitu logika, matematika dan metode empiris. Pada dasarnya sains moderen mengkontruksikan alam sebagai "mesin besar", yaitu sistem yang merupakan kesatuan dari bagian atau elemen- elemen yang masing-masing memiliki fungsi dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah mekanisme umum. Semua fenomena di alam mematuhi hukum yang meliputi keseluruhan sistem, dan hukum-hukum ini tunduk pada ketentuan matematika. Meskipun demikian matematika tidak ditentukan oleh sains moderen. Namun utilitas matematika dalam observasi alam berkembang di era sains moderen (Cohen, 1994).


Lebih dari tiga ratus tahun, secara menakjubkan sains moderen terlibat dalam kekuasaan sistem pengetahuan yang memprediksi dan mengontrol alam lewat aplikasi pengetahuan-pengetahuan sains dalam artefak teknologi. Perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya atas sains moderen ini telah merangsang munculnya disiplin ilmu sosial yang telah mengambil institusi sains sebagai subjek pokok dalam analisis sosiologi. Sejak periode perang hingga tahun 1970-an, Robert Merton merupakan tokoh yang paling banyak menghasilkan karya di bidang ini. Berdasarkan asumsi bahwa pertumbuhan sains terjadi dalam masyarakat tertentu dengan substansi dan konsistensinya, dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Science, Merton mengidentifikasikan empat norma yang menjadi etika sains moderen (Merton, 1973). Empat norma tersebut adalah :


(1) Universalisme: klaim kebenaran seharusnya berdasar atas pendirian, kriteria justifikasi personal yang melarang konsiderasi kriteria partikular seperti perlombaan ilmiah, nasionalitas atau agama;

(2) Komunalisme: pendiri pewarisan umum atas konstitusi sains untuk dibagi pada seluruh komunitas dengan pengenalan dan penghargaan pada hak milik ilmuan;

(3) Ketidakpedulian: ilmuan harus fokus pada pekerjaan mereka dengan cermat untuk menjadi ahli dan kehadiran mereka terbatas pada melayani pelanggan;

(4) Timbulnya skeptisme: ilmuan seharusnya bergabung dalam "meneliti keyakinan dengan kriteria pernyataan empirik dan logis" yang bebas dari pengaruh institusi luar seperti agama.

Meskipun Ilmu Sosiologi Merton ini menerima banyak kritik dari sosiologi sains baru, Mertonian tetap mendefinisikan norma sebagai aspek-aspek ideologi sains yang lebih merupakan kesimpulan yang didasarkan atas studi empiris ilmu pengetahuan praktis (Restivo, 1994:7). Salah satu kritikan ini dapat ditemui dalam catatan Timothy Lenoir (1997) yang mengkritik hasil disiplin ilmu pengetahun kultural. Kritikan ini disampaikan melalui sebuah pesan penolakan yang tegas terhadap pemikiran Robert Merton yang mengungkapkan ketidakpedulian sains dan pemikiran Joseph Ben-David dengan otonomi sainsnya.

Menurut Lenoir (1997:5) program Merton dan Ben-David dilandasi oleh dua asumsi penting, yaitu :


1.Realisme, yaitu paham bahwa kita sebagai habitat yg hidup di dunia nyata merupakan objek dengan sifat bawaan proses, berkorelasi dengan paham bahwa kebenaran teori sains terkait dengan dunia.


2.Objektivitas, yaitu paham yang mengakui keberadaan fakta objektif tentang dunia yang tidak tergantung pada interpretasi bahkan kehadiran seseorang.


Alasan lenoir tidak menerima asumsi-asumsi tersebut adalah karena sains selalu bersifat situasional, lokal dan parsial. Pertimbangan ini didasarkan pada fakta bahwa sains adalah suatu bentukinterpretasi dimana objek sains dan penginterpretasinya tidak salingbebas. Karena hubungan antara sains dan dunia merupakan rangkaian penafsiran, Lenoir berargumen bahwa sains perlu dikemas secara menarik. Dalam penjelasannya Lenoir juga mengajak kita untuk melihat hasil sains sebagai praktek kultural yang melibatkan kesadaran dan faktor sosial, yang mana satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Para pelaku yang ada dibalik produk ilmu pengetahuan berkecimpung di kedua faktor tersebut, yaitu kesadaran dan faktor sosial. Dengan kesadaran mereka menginterpretasikan objek-objek ilmu pengetahuan lewat proses penafsiran. Dan jika dilihat dari sisi sosial, hasil ilmu pengetahuan ada di sekitar manusia karena berkaitan dengan kecenderungan sosial dan ekonomi. Lebih jauh Lenoir menyarankan bahwa kontruksi pengetahuan alam secara simultan dijadikan kerangka usaha untuk mendefinisikan masyarakat dan melegitimasi pandangan diri sendiri atas kenyataan sosial dimanapun seseorang berada (1997 : CH.1).


Pemikiran Lenoir atas hasil ilmu pengetahuan dari praktek kultural mencerminkan bahwa kultur mempengaruhi kontruksi sistem ilmu pengetahuan. Dalam pandangan antropologi, usaha manusia untuk bertahan hidup mengarah pada kontruksi ilmu pengetahuan yang secara
akumulatif masyarakat merangkainya untuk mengenal keteraturan alam. Dan sebagai bagian dari setiap kultur yang terbentuk oleh relasi antar kultur dan alam sekitar, sistem ilmu pengetahuan tampak berbeda dari budaya-budaya lain.


Berdasarkan penggunaan kultur sebagai alat untuk mempelajari sains, Sandra Harding (1998 : 62-70) mengidentifikasikan empat macam elemen kultural yang membentuk inti kesadaran atas setiap sistematisasi ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Empat macam elemen kultural itu adalah :


1.Alam adalah sebuah ketidakteraturan. Oleh sebab itu perbedaan regularitas alam yang mengarah pada lokasi kultur yang berbeda menghasilkan perbedaan ilmu pengetahuan.

2.Minat masyarakat pada setiap kultur berbeda. Kenyataan ini mengarah pada perbedaan pola ilmu pengetahuan yang juga menyebabkan ketidakpedulian pada masing-masing kultur.

3.Secara kultural, wilayah budaya yang tidak berhubungan dengan sumber proses sains adalah salah satu elemen budaya yang menafsirkan kerangka konseptual untuk mendeskripsikan dan menjelaskan keteraturan alam. Hal ini mengimplikasikan bahwa di alam ini cara manusia melihat dan mengintervensi sesuatu terbentuk oleh keunikan kultur dari sistem sains.

4.Kandungan sistem ilmu pengetahuan terbentuk oleh organisasi sosial yang menangani penelitian ilmiah yang secara kultural berbeda.


Catatan Harding tentang adanya kemungkinan budaya dalam membentuk sistem ilmu pengetahuan secara jelas memberi kesan bahwa sains terbentuk secara kultural. Hal ini mengarah pada konsekuensi logis bahwa diskursus pengetahuan tidak dapat dan tidak akan objektif bila dinilai dari konteks kebudayaan tempat sistem ilmu pengetahuan itu
berasal. Studi yang dilakukan oleh Pamela Asquith atas primatologi dua budaya sesuai dengan catatan Harding. Dalam studinya Asquith membandingkan kebudayaan dengan yayasan intelektual antara primatologi Jepang dan primatologi Eropa-Amerika. Betapa Asquith melihat heterogenitas sains tidak hanya menampilkan ekspresi yang berbeda dalam penemuan sains, tapi juga dalam perbedaan wawasan, pertanyaan dan metoda baru penelitian. Beberapa hal yang kemudian menjadikan studi Asquith ini menarik adalah dugaannya terhadap perbedaan keyakinan agama yang meyakini bahwa kehadiran manusia di
alam telah melahirkan ilmu pengetahuan hasil penelitian para ahli primatologi Jepang dan barat. Pandangan Kristiani yang meyakini bahwa hanya manusialah yang memiliki jiwa atau akal telah menghalangi sebagian besar peneliti barat untuk menemukan hubungan kualitas
mental dengan perilaku sosial primata yang kompleks selain manusia. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang atribut yang berupa motivasi, perasaan dan kepribadian serta tingkah laku hewan adalah penting. Hal ini termotivasi oleh keyakinan eksistensi jiwa dalam hewan. Hasil
yang didapat adalah perbedaan yang mengarah pada berbagai macam metodologi dimana pendekatan masyarakat Jepang yang lebih bersifat sosiologis dan antropologis jika dibandingkan dengan pendekatan primatologi barat yang lebih psikologis. Keadaan akhir yang ada adalah kedua kelompok tersebut ( primatologi Jepang dan Barat ) menghasilkan perbedaan analisis yang mana laporan dari masyarakat Jepang terhadap sejarah kehidupan hewan lebih personal dan detail ( dilakukan per individu ) sehingga mampu melihat lebih mendalam perilaku primate beserta perkiraan penyebabnya ( Asquith, 1996 ).

Studi serupa yang dilakukan pada sains dengan dua budaya dikemukakan juga oleh Sharon Traweek ( 1992 ) dalam ilmu fisika. Tetapi bagaimanapun juga studi jangka panjang Traweek yang membandingkan fisika energi tinggi di Amerika dan Jepang sedikit berbeda dalam agenda pembahasan ini. Sementara Asquith terfokus pada pengaruh budaya atas sistem ilmu pengetahuan, Traweek lebih menekankan studinya pada cara merepresentasikan nilai budaya dalam model organisasi penelitian. Jadi tidaklah mengherankan bahwa Traweek
mengindikasikan nilai-nilai individualisme dalam kompetisi. Kemudian hal ini tertanam kuat dalam organisasi penelitian fisika energi tinggi di Amerika. Sementara itu di Jepang penelitian fisika energi tinggi bersandar pada nilai-nilai komunal dan kerjasama. Perbedaan nilai budaya ini tercermin dalam berbagai hal yang mencakup proses belajar-mengajar, sistem kerja kelompok-kelompok organisasi dalaboratorium, gaya kepemimpinan, proses pengambilan keputusan, warisan dan perspektif sejarah ( Traweek, 1992:Ch.5 ). Meski Traweek tidak menjelaskan bahwa perbedaan nilai-nilai kebudayaan akan menghasilkan perbedaan pengetahuan atau tidak, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Harding, studi Traweek secara meyakinkan mampu menunjukkan bahwa nilai-nilai kebudayaan telah membentuk sebuah organisasi dari komunitas sains.


Asquith dan Traweek telah menggambarkan secara gamblang jalinan budaya dan sistem ilmu pengetahuan. Namun kita masih memerlukan bagian lain untuk melengkapi gambaran yang telah diberikan : bagian yang dapat melintasi disiplin ilmu dan masuk ke dalam catatan praktek lingkungan kebudayaan dari sains moderen. Diharapkan hal ini akan memperluas pemahaman kita bahwa sains moderen tidak berdiri sendiri seperti yang dituduhkan selama ini. Pada akhirnya sebuah studi komperatif yang unik atas sains moderen dilakukan oleh Karin Knorr- Cetina. Fokus studi ini adalah hubungan antara ilmu pengetahuan dan budaya merupakan hal yang relevan karena membuka fragmentasi dan keanekaragaman sains. Dalam studinya, Knorr-Cetina berusaha menempatkan awal pecahnya ilmu pengetahuan dalam sebuah media penelitian lewat sebuah observasi aktifitas masyarakat terhadap fisika energi tinggi di satu sisi dan dasar kerja individual biologi molekular di sisi lainnya. Belajar dari berbagai laboratorium fisika energi tinggi dan biologi molekular di Eropa dan Amerika Utara, Knorr- Cetina bermaksud untuk membongkar struktur simbolik dari kedua bidang tersebut yang saat ini telah menjadi acuan pandangan lewat definisi kesatuan (entities), klasifikasi sistem dan cara memahami strategi epistemik, prosedur empiris dan strategi sosial. Langkah ini menghasilkan anggapan yang berasal dari proses penandaan dan eksperimen. Kedua hal tersebut berhubungan dengan waktu dan jasad. Dengan segala kelengkapan yang tampak berbeda secara budaya, praktek fisika energi tinggi dan biologi molekular terpolarisasi dalam kerangka konteks berfikir untuk membentuk ilmu pengetahuan. Point penting dalam penemuan ini adalah eksistensi epistemik budaya dalam dua contoh kasus terhadap hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat, seperti yang telah digarisbawahi oleh Knorr-Cetina," studi atas penempatan ilmu pengetahuan menjadi tujuan dalam usaha memahami tipe masyarakat yang menjadi pelaku penerapan sains dan keahlian selain sains dan keahlian itu sendiri"(Knorr-Cetina, 1998:8).





Sumber
www.wikipedia.com
http://groups.yahoo.com/group/insistnet/
http://id.shvoong.com/tags/feminisme
http://gurumuda.com/bse/

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus